Dewas: KPK Belum Berhasil Ungkap Kasus 'The Big Fish'
N/A • 27 March 2023 10:45
Dewan Pengawas (Dewas) menyoroti kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum berhasil mengungkap kasus besar atau istilah 'The Big Fish'. Namun, KPK dinilai tetap bekerja sesuai jalur.
"Sayangnya kita belum berhasil mengungkap kasus-kasus yang besar, kasus-kasus yang kita beri nama dulu 'The Big Fish'," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam telekonferensi, Senin (27/3/2023).
"Kita lebih banyak kasus-kasus yang sifatnya OTT, yaitu dalam rangka penyuapan-penyuapan aparatur penyelenggara negara, kita lebih banyak fokusnya ke situ," ucap Tumpak.
Tumpak mengungkapkan secara keseluruhan, KPK berhasil menjalankan kedeputian di bidang pencegahan dan penindakan. Namun, kebanyakan kasus yang ditangani KPK berupa suap.
Menurut Tumpak, KPK hingga kini masih dipercaya masyarakat dalam memberantas korupsi di Indonesia. Tapi, penanganan kasus besar saat ini sedang kurang.
Tumpak menyebut taring KPK masih tajam karena banyak menindak dan menangkap pelaku korupsi di Indonesia. Namun, kinerjanya belum cukup dirasakan masyarakat.
KPK diharapkan bisa menggigit 'ikan besar' lagi. Harapan masyarakat kepada KPK diminta terus dijaga.
"Harapan saya sebetulnya kita harus beranilah mengungkapkan kasus-kasus yang besar yang menarik perhatian masyarakat, yang bisa dirasakan oleh masyarakat manfaatnya," kata Tumpak.
KPK diharapkan tidak kalah dengan Kejaksaan Agung yang banyak menangani kasus besar belakangan ini. KPK dinilai masih mumpuni untuk mengungkap skandal besar atau yang kerap diberi julukan 'The Big Fish'.
"KPK kok bisa, harusnya bisa, menurut saya harusnya bisa seperti yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung itu," tutur Tumpak.
Sementara itu, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut KPK terlalu fokus dengan operasi tangkap tangan (OTT). Sehingga, kasus 'ikan besar' sulit diungkap.
"KPK hanya fokus tentang OTT, pasal yang diterapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 gratifikasi dan Pasal 12 juga penerimaan hadiah dan juga pemerasan," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman di Jakarta, Senin (27/3/2023).
Boyamin menuturkan kasus dari hasil OTT biasanya berupa penerimaan suap atau gratifikasi. Proses hukumnya dinilai mudah karena KPK cuma membuat bukti.
"Jadi, mau mengincar orang kalau enggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti, bahwa terjadi adanya suap. Jadi ini sesuatu yang membuat bukti, jadi gampang," ucap Boyamin.
Sikap KPK ini berbeda dengan Kejaksaan Agung yang belakangan menangani kasus besar. Menurut Boyamin, Korps Adhyaksa fokus dengan penanganan perkara dengan penerapan pasal kerugian negara.
"Nah, Kejaksaan Agung bedanya adalah selalu berkontribusi atau berkutat di Pasal 2 dan Pasal 3 (tentang kerugian negara dalam) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya," ujar Boyamin.
Pencarian barang bukti dalam dua pasal itu dinilai lebih sulit ketimbang kasus suap. Kejaksaan Agung harus mencari perbuatan melawan hukum yang sudah terjadi.
"Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 ini adalah mencari bukti dan menemukan bukti, karena apa? Korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, setahun yang lalu, peristiwanya sudah terjadi, dan kemudian harus menemukan dan mencari alat bukti," kata Boyamin.
Boyamin menilai 'ikan besar' itu kerap ditangani Kejaksaan Agung karena usahanya dalam menangani kasus lebih besar dari pada KPK. Sehingga, wajar jika Korps Adhyaksa bisa lebih unggul.
"Jadi, otomatis dengan demikian, ketika Kejaksaan Agung itu fokus dan konsentrasi di situ maka lama lama dia akan pasti menemukan ikan besar, dan itu terbukti," terang Boyamin.
(Silvana Febriari)