NEWSTICKER

Kebijakan Deforestasi Uni Eropa Berpotensi Memperparah Fragmentasi dan Mendiskriminasi Petani Sawit Kecil

Kebijakan Deforestasi Uni Eropa Berpotensi Memperparah Fragmentasi dan Mendiskriminasi Petani Sawit Kecil

Annisa Ayu Artanti • 8 June 2023 10:18

Jakarta: Kebijakan deforestasi Uni Eropa berpotensi memperparah fragmentasi pasar komoditas kelapa sawit berkelanjutan. 
 
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Mukhammad Faisol Amir mengatakan kebijakan itu juga diskriminatif dan menimbulkan biaya yang tidak perlu bagi negara penghasil utama minyak sawit atau crude palm oil (CPO), seperti Indonesia dan Malaysia, yang memiliki banyak petani swadaya kecil.
 
“Kebijakan tersebut menuntut tercapainya traceability atau keterlacakan utuh, sesuatu yang masih sulit dilakukan dan membutuhkan waktu panjang untuk bisa mencapai persyaratan tersebut,” ungkap Faisol dalam keterangan tertulis, Kamis, 8 Juni 2023.
 
Asal tau saja, kebijakan bebas deforestasi Uni Eropa atau EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) itu merupakan legislasi baru yang melarang komoditas dan turunannya yang termasuk ke dalam ruang lingkup EUDR, seperti minyak sawit, ternak, kedelai, kopi, cokelat, kayu dan karet, untuk diperdagangkan dari dan ke Uni Eropa jika komoditas tersebut dihasilkan dari lahan deforestasi.
 
Ia menjelaskan, kebijakan ini berpotensi memperparah fragmentasi pasar sawit berkelanjutan, terutama yang berasal dari Indonesia dan Malaysia sebagai dua produsen minyak sawit terbesar. 
 
"Minyak sawit yang dihasilkan keduanya belum sepenuhnya mencapai keterlacakan, seperti yang disyaratkan oleh kebijakan ini," sebutnya. 
 
Sebagaimana diketahui, sertifikasi berkelanjutan bagi komoditas sawit Indonesia masih terfragmentasi dengan dua standar sertifikasi, yakni Indonesian Sustainable Pal Oil (ISPO) yang digagas oleh pemerintah dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang didorong oleh pasar global.
 
Fragmentasi sertifikasi keberlanjutan industri kelapa sawit timbul atas tumpang-tindihnya beberapa standar antara ISPO dan RSPO.
 
“Di Indonesia, keterlacakan produk kelapa sawit  masih sulit dicapai , terutama untuk produsen yang tidak memiliki cukup modal, misalnya saja petani kecil dan swadaya. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan sertifikasi keberlanjutan untuk komoditas yang dihasilkan,” jelasnya. 
 
Nasib petani kecil
 
EUDR juga berpotensi diskriminatif terhadap petani kecil dan swadaya. Kebijakan ini tidak mendukung opsi mass balance dan credit supply chain model yang selama ini dimungkinkan melalui RSPO. 
 
Skema mass balance RSPO memungkinkan pencampuran produk tersertifikasi dan tidak tersertifikasi RSPO dalam rantai pasok, namun hanya diperbolehkan memberikan sertifikat  pada produk akhir sejumlah volume produk tersertifikasi awal. 
 
Sedangkan credit supply chain RSPO adalah bukti volume minyak sawit bersertifikat yang diproduksi, baik oleh perusahaan atau petani swadaya yang bersertifikat RSPO. Sertifikat ini kemudian dapat diperjualbelikan dan memberikan insentif bagi produsen.
 
Faisol menambahkan, keharusan untuk menjamin keterlacakan hingga ke tingkat petani swadaya menimbulkan biaya yang besar, yang dapat mendorong pembeli dari Uni Eropa untuk hanya melakukan transaksi dengan perkebunan besar dan petani plasma, dan menghindari petani swadaya.
 
Petani kecil memiliki atau mengoperasikan hampir separuh lahan budi daya kelapa sawit di seluruh nusantara juga memainkan peran yang sangat penting dalam transformasi industri melalui sertifikasi. 
 
“Petani swadaya yang saat ini memproduksi 34,62 persen produk kelapa sawit di Indonesia seharusnya lebih banyak didukung dalam upaya menuju pertanian berkelanjutan, bukan sebaliknya. Kebijakan ini justru berpeluang menghambat ekspor minyak sawit yang mereka hasilkan,” tegasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Annisa Ayu)