Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari menegaskan politik uang sudah dilarang dari waktu ke waktu berdasarkan Undang-Undang Pemilu. Menurutnya, istilah yang tepat untuk menggambarkan politik uang adalah jual beli suara.
"Yang tepat itu istilahnya jual beli suara, orang punya suara kemudian diminta untuk memilih calon atau pasangan tertentu dengan imbalan uang," kata Hasyim Asy'ari dalam acara kuliah umum bertajuk Integritas dan Profesionalisme KPU dalam Mewujudkan Pemilu yang Demokratis yang digelar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro secara daring, Selasa (28/3/2023).
Hasyim menyebut, ada dua pendekatan untuk menyelesaikan persoalan jual beli suara, yakni kultural dan hukum. Melalui pendekatan kultural, ia mengatakan ada kesadaran dari masyarakat untuk melakukan gerakan sosial menolak politik uang atau jual beli suara.
"Dan itu basisnya bisa dimulai dari kampung-kampung, karena sesungguhnya, pemilih, TPS-nya ada di kampung-kampung," ujarnya.
Dengan demikian, masyarakat dapat menolak praktik bagi-bagi amplop oleh peserta pemilu, baik partai politik perseorangan, maupun tim sukses masing-masing. Hal tersebut diyakini dapat meningkatkan kesadaran peserta pemilu bahwa kemenangan dalam kontestasi pemilu tidak selalu karena uang.
Mengenai pendekatan hukum jual beli suara, Hasyim menegaskan bahwa baik pemberi maupun penerima terancam pidana. Namun, ia berpendapat penyelesaian jual beli suara melalui pendekatan hukum sangat ditentukan dengan pendekatan kulutral.
Sebab, pemilih yang menerima uang dalam praktik jual beli suara untuk memilih partai politik atau calon tertentu hampir tidak pernah mengaku. Pengakuan itu, berkaitan dengan faktor pembuktian dalam kerangka hukum pidana.
"Untuk faktor pembuktian apakah ada orang mau mengaku kalau dirinya terima uang? Selama ini kok masih jarang atau tidak ada orang mengaku menerima uang," pungkasnya.