Sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta, termasuk Shell, Vivo, BP, dan Exxon Mobil, telah menyetujui skema pembelian bahan bakar minyak (BBM) impor tambahan melalui PT Pertamina (Persero). Kesepakatan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas pasokan BBM nasional dan mengatasi kelangkaan yang sempat terjadi di beberapa SPBU swasta. Perjanjian tersebut merupakan hasil rapat koordinasi di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Jumat, 19 September 2025.
Menteri ESDM, Bahli Lahadalia, menyatakan bahwa kesepakatan ini dicapai setelah pertemuan dengan perwakilan Pertamina, PT Kilang Pertamina Internasional, serta keempat badan usaha SPBU swasta tersebut. Ia menegaskan bahwa proses masuknya BBM impor ke Indonesia diperkirakan paling lambat tujuh hari ke depan.
Dalam kesepakatan tersebut, SPBU swasta mengajukan tiga syarat utama terkait skema impor BBM tambahan ini. Salah satu syarat adalah jenis BBM yang dijual ke SPBU swasta harus merupakan
fuel base atau belum ditambahkan zat aditif. Penambahan zat aditif nantinya dilakukan sesuai spesifikasi masing-masing SPBU.
Jaminan Kualitas dan Harga yang Adil
Bahli juga menekankan pentingnya uji kualitas terhadap BBM
Pertamina yang akan dijual kepada SPBU swasta. Uji kualitas ini akan dilakukan oleh
joint surveyor yang telah disepakati bersama oleh semua pihak. Faktor harga menjadi perhatian lain, di mana pemerintah menginginkan mekanisme penetapan harga jual yang adil dan saling menguntungkan bagi Pertamina maupun SPBU swasta.
Kelangkaan pasokan BBM di SPBU swasta diketahui telah terjadi sejak akhir bulan lalu, bahkan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagian karyawan. Bahli Lahadali membantah pemerintah melakukan monopoli melalui kebijakan pengadaan BBM satu pintu ini. Ia menegaskan bahwa kuota impor BBM untuk SPBU swasta telah ditambah 10 persen untuk tahun 2025, menjadi 110 persen dari realisasi tahun 2024.
Penyebab Kelangkaan dan Kebijakan Importasi
Ketersediaan pasokan BBM nasional saat ini berada di rentang 18 hingga 21 hari, yang diklaim cukup aman untuk memenuhi kebutuhan domestik. Namun, SPBU swasta mengalami penipisan cadangan stok BBM. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan tambahan kuota impor BBM periode 2025 untuk SPBU swasta seperti Shell dan BP AKR mencapai 7.000 hingga 44.000 kiloliter (KL), sebuah angka yang terpaut jauh dengan tambahan volume impor Pertamina sebesar 613.000 KL.
Sekretaris Jenderal (Sekjen)
Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menjelaskan bahwa kebijakan importasi satu pintu telah sesuai dengan regulasi yang berlaku. Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 Pasal 12 ayat 2, serta Permendag Nomor 21 Tahun 2019, yang mewajibkan pelaksanaan impor BBM mendapatkan rekomendasi dari Menteri ESDM dan Menteri Perdagangan.
Pergeseran Konsumsi dan Keterbatasan Kuota
Wakil Menteri ESDM, Yulio Tanjung, menyatakan bahwa kelangkaan stok BBM di SPBU swasta tidak lepas dari pergeseran konsumsi BBM. Terjadi pergeseran gaya beli dari BBM subsidi ke non-subsidi sebanyak 1,4 juta KL sepanjang tahun ini. Selain itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Batiar menduga bahwa durasi izin impor dan kuota impor yang terbatas menjadi penyebab utama kelangkaan.
Pemerintah pada 25 Februari 2025 mengatur izin impor BBM yang sebelumnya berlaku satu tahun menjadi enam bulan, dengan laporan berkala setiap tiga bulan. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan, fleksibilitas dalam mengelola pasokan BBM, menjaga neraca perdagangan minyak dan gas dalam negeri, dan menyesuaikan kesepakatan impor produk migas dengan Amerika Serikat. Konsekuensinya, SPBU swasta harus lebih sering menghadapi birokrasi perizinan, yang menjadi kendala dalam penyediaan stok BBM non-subsidi kepada pelanggannya.
(Daffa Yazid Fadhlan)