Di tengah pelaksanaan tahapan pemilu, sebuah surat edaran dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dilayangkan ke daerah-daerah. SE Nomor 821/5492/SJ tersebut mengizinkan penjabat, pelaksana tugas, dan penjabat sementara kepala daerah memberi sanksi, memutasi, hingga memberhentikan aparatur sipil negara (ASN) setempat.
Mereka hanya perlu melaporkan tindakan terkait kepegawaian tersebut kepada Mendagri paling lambat tujuh hari kerja setelahnya. Dalam surat edaran itu Mendagri memakai dalih demi efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tercantum pula peraturan perundangan yang menjadi landasan, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksananya.
Kedua peraturan perundangan pada intinya melarang penjabat, pelaksana tugas, dan penjabat sementara kepala daerah memberi sanksi, memutasi, hingga memberhentikan ASN setempat. Akan tetapi, bila mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri, mereka boleh melakukannya. Mendagri rupanya mengira hal itu bisa ditafsirkan dengan memberikan izin tertulis secara pukul rata. Disengaja atau tidak, Mendagri telah mengabaikan maksud dari dua aturan yang derajatnya lebih tinggi itu.
Kebijakan mutasi, pemberian sanksi, hingga pemberhentian pegawai di tahun-tahun politik bukan masalah sepele. Kebijakan itu menyangkut netralitas pegawai pemerintahan, khususnya di tengah penyelenggaraan pemilu. Di masa lalu, kewenangan kepegawaian kerap disalahgunakan untuk membentuk basis dukungan maupun menyingkirkan pendukung lawan politik. Tuduhan pelanggaran disiplin dan kebutuhan mutasi tidak sulit diada-adakan. Itu sebabnya, dibuat pengaturan di undang-undang. Ada syarat ketat dalam pengambilan kebijakan kepegawaian.
Surat sakti Mendagri sesungguhnya mengafirmasi bahwa tidak mudah bagi penjabat dan pelaksana tugas kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan tertulis Mendagri. Ketentuan yang ketat merupakan amanat undang-undang demi meminimalkan ruang bagi kepala daerah nondefinitif berlaku sewenang-wenang.
Melalui surat saktinya, Mendagri telah melanggar asas hukum karena melangkahi amanat peraturan di atasnya. Mendagri juga melebarkan celah penyelewengan dan bersikap tutup mata dengan izin palu gada. Merujuk pada asas hukum tersebut, SE Mendagri Nomor 821/5492/SJ semestinya dicabut segera. Tidak perlu menunggu sampai muncul gejolak di daerah-daerah akibat mutasi dan pemberhentian pegawai secara ugal-ugalan.
Sumber: Media Indonesia