18 November 2025 23:32
Komisi Informasi Pusat (KIP) menggelar sidang sengketa informasi publik terkait ijazah mantan Presiden Joko Widodo, Senin 17 November 2025. Dalam sidang tersebut, Ketua Majelis Sidang mencecar perwakilan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan KPU Surakarta terkait keberadaan salinan ijazah dan tata kelola arsip.
Sidang ini dihadiri oleh pemohon dari kelompok akademisi, aktivis, dan jurnalis yang tergabung dalam Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi). Sementara itu, sejumlah badan publik sebagai termohon turut hadir, antara lain UGM, KPU Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.
UGM Dicecar Soal Kop Surat dan Salinan Ijazah
Ketua Majelis KIP, Rospita Vicy Paulin, menyoroti jawaban tertulis UGM yang dinilai tidak profesional karena tidak menggunakan kop resmi universitas dan tanpa tanda tangan. Rospita menegaskan langkah tersebut tidak sesuai dengan prosedur lembaga publik.
Selain masalah administrasi, Majelis Hakim juga mencecar UGM terkait klaim mereka yang menyatakan tidak menguasai salinan ijazah Joko Widodo.
"Pada saat menyerahkan dokumen ke Polda, kemudian pihak UGM tidak punya sama sekali dokumen apapun lagi terkait salinan ijazah itu?" tanya hakim.
"Yang kita serahkan ke Polda itu salinan yang 'asli' (legalisir basah), Ibu," jawab perwakilan UGM.
"Fotokopi yang lain tidak ada? Foto scan-nya tentu ada?" cecar hakim.
"Ada."
"Karena di sini dimintanya bisa fotokopi atau scan warna. Tapi (dalam jawaban) dikatakan 'tidak dalam penguasaan'. Bagi kami, terlepas dari isu data pribadi, persoalannya pihak UGM menjawab 'tidak dalam penguasaan'. Pengertian 'tidak dalam penguasaan' itu kan berarti tidak ada. Nah, ada atau tidak?" cecar hakim lagi.
"Kalau konteksnya salinan yang asli notabene itu kita serahkan kepada Polda Metro. Tapi scan salinannya ada di kami," jawab UGM.
KPU Surakarta Disorot Soal Pemusnahan Arsip
Selain UGM, Majelis Hakim juga mempertanyakan kebijakan KPU Surakarta yang memusnahkan arsip ijazah pencalonan Joko Widodo saat maju sebagai Wali Kota Surakarta.
Hakim menilai tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, mengingat dokumen negara seharusnya memiliki masa retensi (penyimpanan) yang lebih lama, bukan dimusnahkan dalam waktu singkat.
"Buku agenda itu harusnya mengacu ke undang-undang kearsipan. Itu minimal 5 tahun lho. Karena ini dokumen negara. Dokumen negara itu ada yang namanya arsip dinamis. Jadi selama itu masih berpotensi disengketakan, itu tidak boleh dimusnahkan," ucap hakim.
"Ini saya bingung. Satu tahun (langsung dimusnahkan) itu tidak ada. Saya tidak tahu arsip mana yang satu tahun kemudian dimusnahkan," lanjut hakim lagi.
"Satu tahun aktif, dua tahun inaktif," ucap perwakilan KPU Surakarta.
"Berarti totalnya 3 tahun? Masa retensi penyimpanan arsip itu tidak ada yang di bawah 3 tahun, (bahkan) tidak ada yang di bawah 5 tahun (untuk dokumen penting)," kata hakim.