Bukan Bangsa Pelanduk

10 July 2025 08:44

Pengenaan tarif timbal balik dagang sebesar 32% oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia mengisyaratkan tantangan serius dalam tatanan perdagangan global yang semakin proteksionistis. Besaran tarif itu akan semakin membengkak jika tarif tambahan 10?gi anggota blok ekonomi BRICS juga diberlakukan untuk Indonesia.

Indonesia perlu bersikap tegas namun bijaksana dalam merespons, dengan tetap menjaga hubungan baik sambil memperkuat fondasi industri dan diversifikasi pasar. Kebijakan proteksionis ini menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan, baik pemerintah maupun pelaku usaha.

Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi dagang AS untuk melindungi industri domestiknya. Bagi Indonesia, hal ini dapat memberikan dampak serius terhadap ekspor, hubungan bilateral, dan stabilitas sektor industri tertentu.

Selama ini Indonesia mencatatkan surplus dalam neraca perdagangan dengan Amerika Serikat. 'Negeri Paman Sam' itu merupakan negara penyumbang surplus terbesar dalam hubungan dagang bilateral dengan Indonesia tahun ini, yang mencapai USD5,44 miliar.

Dengan tarif sebesar 32%, plus jika nanti tambahan 10%, produk-produk Indonesia di pasar AS menjadi jauh lebih mahal, mengurangi daya saing jika dibandingkan dengan produk dari negara lain yang tidak dikenai tarif serupa. Kinerja ekspor produk dalam negeri untuk pasar Amerika bisa makin lesu.
 

Baca: Trump Terapkan Tarif 50% Terhadap Brasil usai Disebut Kaisar

Hal ini akan sangat mengkhawatirkan mengingat produk ekspor Indonesia ke negara itu didominasi oleh sektor padat karya, yakni elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, serta udang dan produk-produk perikanan laut lainnya.

Belum lagi, sejumlah negeri jiran di kawasan yang banyak menghasilkan produk serupa untuk pasar Amerika Serikat, tidak dikenakan tarif sebesar Indonesia. Tarif yang dikenakan kepada Indonesia lebih besar jika dibandingkan dengan tarif impor untuk Malaysia sebesar 25%. Untuk Vietnam, Presiden AS Donald Trump sempat mengumumkan akan mengenakan tarif impor 20%. Sedangkan, Myanmar dan Laos dikenakan tarif 40%, kemudian Thailand dan Kamboja dikenakan 36%.

Indonesia patut melihat strategi negosiasi Vietnam yang berhasil menurunkan tarif resiprokal lebih dari separuh. Vietnam awalnya dihadapkan pada tarif 46%. Namun, dengan kegigihan tim negosiasi, mereka mampu mereduksi tarif hanya tinggal 20%.
 
Baca: Terpopuler Ekonomi: Warga AS Khawatir Tarif Trump hingga Iuran BPJS Kesehatan

Untuk itulah, pemerintah perlu segera melobi pemerintah AS dengan sangat keras untuk membuka dialog bilateral dan memastikan ruang negosiasi. Langkah ini penting untuk menjelaskan posisi Indonesia dan mencari jalan tengah. Jangan sampai upaya ini kembali tidak menghasilkan perubahan apa pun, seperti ketika negosiasi tahap pertama. Namun, tentu negosiasi yang dijalankan tetap harus mengutamakan kepentingan nasional.

Selain terus mengupayakan negosiasi dengan Amerika, penguatan diversifikasi pasar ekspor juga menjadi penting dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan perang dagang ini. Perkuat hubungan ekonomi dengan negara di luar AS, baik itu dengan BRICS, Uni Eropa, maupun negara-negara Timur Tengah.

Kemandirian ekonomi dan diplomasi perdagangan yang kuat akan menjadi kunci dalam menghadapi tekanan eksternal semacam ini. Pasalnya, pengenaan tarif kali ini bukan sekadar persoalan menyeimbangkan neraca perdangan, melainkan juga terkait dengan persaingan geopolitik yang lebih besar.

Jika Indonesia sampai terseret terlalu dalam, tanpa kemandirian sikap dan ekonomi, bisa saja negeri ini menjadi korban sampingan dari perang dagang dua blok ekonomi terbesar di dunia. Jangan sampai kita menjadi pelanduk di tengah perang dagang yang terus berkecamuk. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Diva Rabiah)