17 January 2024 14:45
Pelaku usaha hiburan ramai-ramai menolak penerapan pajak barang dan jasa tertentu, atas jasa hiburan sebesar 40-75 persen. Mereka menilai penerapan pajak di masa pemulihan pasca pandemi covid-19 sangat memberatkan.
Salah satu musisi, Satrio Yudi Wahono atau Piyu mengatakan, diberlakukannya pajak hiburan dengan besaran tersebut dapat membuat pelaku usaha konser, kafe, restoran dan semacamnya yang sering kali menghadirkan live musik kehilangan pelanggan dan menurunkan kesempatan kerja bagi musisi.
"Mudah-mudahan ini bisa ditinjau kembali, karena ini pasti akan mengurangi pendapatan," kata Satrio Yudi Wahono atau Piyu.
Tidak hanya musisi, pelaku usaha jasa pijat dan spa di Bali juga sangat keberatan jika harus dibebani dengan pajak sebesar 40-75 persen. Terlebih usaha spa dianggap sebagai usaha yang berkaitan dengan kesehatan, bukan hiburan.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran menyayangkan pemberlakuan pajak hiburan tersebut di masa pemulihan pasca pandemi covid-19. Menurutnya, berdasarkan pengalaman, pemerintah daerah sering memberlakukan pajak pada batas maksimum.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno meminta pemerintah daerah untuk tidak terburu-buru menerapkan pajak hiburan di rentang 40-75 persen. Sandi menyebut, undang-undang Nomor1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mengatur pajak barang dan jasa tertentu atas hiburan tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan judicial review.