Transparansi ruang peradilan memang hal krusial, sekalipun tanpa adanya penangkapan dua hakim agung belum lama ini. Sebab, selama ini, jadwal putusan pun kerap baru diunggah di laman informasi perkara MA padahal pengucapannya telah lewat hingga beberapa bulan.
Keterlambatan yang kerap terjadi, bahkan bagai kebiasaan tersebut, sudah contoh sederhana betapa buruknya tata kelola di lembaga yang semestinya menjadi benteng keadilan tersebut. Hal itu, berikut juga dengan pola korupsi berjemaah di MA, menguatkan bahwa penyimpangan di lembaga tersebut bukanlah tindak perorangan, melainkan sistemik.
Karena itu, pekerjaan rumah reformasi yang harus dilakukan MA masih sangat panjang. Tanpa itu, transparansi akan sekadar gimik dan dramaturgi ruang sidang karena masih banyak celah lain yang dapat dimainkan mafia di MA, yang jaringannya sudah berulang kali terbukti dari jajaran bawah hingga atas.
Selain dengan live streaming pembacaan putusan, MA juga menyatakan bakal menata ulang mekanisme penerimaan tamu dan layanan publik, yakni dengan pelayanan satu pintu dan penjagaan militer dari pengadilan militer. MA pun akan mengunci lokasi presensi hanya di kantor serta dimonitor oleh atasan dan satgas badan pengawasan.
Perbaikan proses seleksi calon hakim agung berada di tangan Komisi Yudisial. Dalam mekanisme ini transparansi semestinya bisa dilakukan pula dengan pelibatan publik, selain lembaga-lembaga negara seperti KPK dan PPATK.
Langkah yang sudah dimulai MA harus segera didukung dengan langkah-langkah konkret berbagai pihak terkait. Tanpa kerja sama dan koordinasi, perubahan MA tidak akan bisa membawa perbaikan nyata.