NEWSTICKER

Bedah Editorial MI: Momentum Tumbuhkan Budaya Malu

N/A • 7 October 2022 09:04

Sabtu (1/10/2022) lalu menjadi malam minggu kelabu bagi dunia persepakbolaan Tanah Air. Sekitar 130 nyawa melayang seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Peristiwa itu menjadi tragedi terkelam sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Bahkan, untuk ukuran dunia menjadi yang kedua tersuram setelah tragedi di Peru yang menewaskan lebih dari 300 orang, setengah abad silam.

Para suporter yang tewas di Kanjuruhan umumnya akibat sesak napas setelah terkena gas air mata dan berdesakan di pintu keluar seusai pertandingan. Kita berduka, bahkan teramat berduka, dan berbelasungkawa kepada keluarga yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Tragedi semacam itu seharusnya tak perlu terjadi seandainya pengelola pertandingan, entah itu panpel, pihak klub, aparat keamanan, maupun penyelenggara kompetisi (PT Liga Indonesia Baru/LIB) dan federasi (PSSI) sigap mengamankan jalannya pertandingan.

Apalagi, sebelumnya Polres Malang sudah meminta waktu pertandingan digeser ke sore hari, dari yang semula pukul 20.00 WIB menjadi pukul 15.30 WIB.

Pertimbangannya, itu laga yang rawan karena mempertemukan dua musuh bebuyutan. Betul laga itu tidak dihadiri suporter tamu. Akan tetapi, antusiasme Aremania, pendukung Arema FC, sangat tinggi untuk menyaksikan big match tersebut, termasuk kaum perempuan dan anak-anak.

Pihak Arema sebetulnya sudah setuju pertandingan digeser ke sore hari. Mereka sudah mengirim surat ke PT Liga Indonesia Baru (LIB), tapi ditolak. Pertandingan pun tetap digelar malam hari. Surat balasan LIB itu ditandatangani direktur utamanya, Akhmad Hadian Lukita. Entah apa pertimbangannya. Biarlah itu nanti jadi bahan penyelidikan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk pemerintah. Satu hal yang pasti, polisi sudah mengingatkan untuk mengubah jadwal.

Begitu pun panitia sudah mengambil langkah tepat dengan berkirim surat ke LIB. Mereka juga sudah benar tidak mengalokasikan jatah kursi untuk suporter Persebaya. Di dalam stadion sebenarnya sudah tidak ada lagi faktor penentu yang bisa memicu kerusuhan. Kalaupun kecewa kepada tim kesayangannya, mereka paling banter merusak stadion.

Namun, apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Lontaran gas air mata yang dilepaskan aparat membuat penonton panik dan berdesakan menuju pintu keluar. Dalam kondisi seperti itu banyak yang terinjak dan meninggal akibat sesak napas. Kita semua berduka dan menyesali tragedi tersebut. Sebuah petisi di change.org, yang telah ditandatangani ribuan orang, mendesak Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule untuk mengundurkan diri.

Sebelumnya, berbagai elemen masyarakat juga menyerukan hal serupa, seperti DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta Indonesia Police Watch (IPW).

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Devi Amelia)