Dosen Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menyebut partisipasi pemilih di Pilkada 2024 tidak merata. Hal ini disebabkan aktor kompetisi pilkada yang sedikit. Selain itu masyarakat di beberapa daerah merasa pencalonan kepala daerah tidak mewakili aspirasi mereka.
“Pilkada ini di 545 daerah dengan 37 pemilihan Gubernur 415 pemilihan Bupati dan 93 pemilihan wali kota. Dan ini yang berkontestasi adalah kepala daerah eksekutif dengan jumlah yang sedikit. Sehingga konsentrasinya fokus kepada figur-figur tertentu saja di waktu yang bersamaan. Dan kalau kita perhatikan ketika aktor yang berkompetisi itu sedikit, tentu atensinya itu akhirnya menyebar ke banyak daerah. Partisipasi itu ada, tetapi kemudian tidak merata di setiap daerah contohnya tadi disebut soal gerakan jaga suara di koalisi masyarakat sipil,” ungkap Titi dalam Indonesia Memilih, Metro Tv, Kamis, 28 November 2024.
Menurut Titi, Jaga Suara yang mengajak partisipasi masyarakat untuk memotret hasil C tidak cukup untuk menjangkau seluruh TPS di Indonesia. Hal ini menurutnya, kurang efektif.
“Jaga suara 2024 yang mengajak masyarakat untuk memfoto C hasil mengikuti proses penghitungan itu ada. Tapi dibandingkan dengan 435.236 TPS itu kan tidak mudah untuk mencakup semua sebaran-sebaran TPS tadi. Jadi betul bahwa partisipasi itu ada tapi memang kita tidak mampu menjangkau efektivitas di semua daerah yang berpilkada apalagi kemudian kesadaran dari setiap daerah itu juga beragam,” ucapnya.
Titi menuturkan masyarakat juga merasakan lelah politik pasca Pemilu Serentak 2024. Sejumlah masyarakat di daerah juga mengeluhkan proses pencalonan yang tidak menampung aspirasi politik lokal.
“Ditambah lagi yang saya kira paling berkontribusi adalah kelelahan politik, kejenuhan politik pasca Pemilu Serentak 2024 lalu juga proses pencalonan yang lebih menggambarkan selera Jakarta ketimbang aspirasi politik lokal. Hal ini karena di beberapa daerah kami temui sebenarnya konstituen dan partai akar rumput itu maunya kandidat A tapi yang dimunculkan adalah kandidat B,” kata Titi.
Pencalonan yang terlalu jakartasentris dianggap membuat partisipasi pemilih berkurang saat pilkada kali ini. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) efektif mencegah munculnya banyak kotak kosong di daerah. Meski demikian, masyarakat tetap tidak puas akan calon yang disediakan partai.
“Bagi mereka, kenapa saya harus memilih? Padahal tidak ada yang bisa merepresentasikan saya sebagai rakyat. Di sisi lain juga sebenarnya kalau tidak ada keputusan dari MK itu akan lebih banyak lagi kotak kosong. Dan lagi-lagi calonnya tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat,” ucapnya.