Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi bagi kasus korupsi. Rehabilitasi, reintegrasi sosial dan restorative justice menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam mengambil keputusan. Pembatalan ini tentu dianggap sebagai salah satu pelemahan dalam usaha pemberantasan korupsi.
Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak seharusnya disamakan dengan tindak kejahatan lainnya, dan mudah mendapatkan pengurangan hukuman. Lalu bagaimana agar hukuman bagi para koruptor dapat maksimal dilakukan? Apakah koruptor boleh memiliki hak yang sama dengan terdakwa kasus lain? Lalu perlukah pengetatan remisi bagi para terdakwa korupsi diatur dalam undang-undang?