Dibukanya Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30) di Kota Belem, Brasil, menandai tonggak baru perjalanan dunia dalam menghadapi krisis iklim global. Rangkaian pembukaan konferensi iklim ini menandai berlangsungnya tongkat estafet kepemimpinan dari Azerbaijan kepada Brasil.
Presiden COP30, Andrea Correa do Lago menegaskan kembali semangat dan komitmen Brasil dalam melanjutkan kepemimpinan global menghadapi perubahan iklim. Dalam paparannya, Do Lago menyatakan dunia harus sungguh-sungguh memikirkan upaya implementasi dari ekonomi hijau dan penggunaan energi terbarukan.
Dalam konferensi ini, seluruh anggota COP30 diminta untuk segera menjalankan program nyata dalam mengurangi emisi karbon dan efek rumah kaca.
Uni Eropa Didesak Perbarui Target Emisi
Di tengah pembukaan COP30, muncul tekanan besar terhadap negara-negara produsen gas rumah kaca terbesar di dunia. Salah satunya Uni Eropa, yang mencitrakan diri sebagai pelopor aksi iklim, didesak untuk memperbarui dan membidik sasaran dekarbonisasi yang lebih ambisius, bahkan sebelum KTT di Brasil ini berlangsung.
Uni Eropa sendiri telah menyepakati target pengurangan emisi sebesar 66 hingga 72% selama 10 tahun ke depan, dengan target lebih besar, yaitu 90% pada 2040, dibandingkan tingkat emisi 1990. Namun, para ahli melihat bahwa dukungan umum terhadap kebijakan iklim global sedang melesu, dan banyak negara cenderung mendahulukan pemulihan ekonomi.
Meskipun demikian, para pakar sepakat bahwa tercapainya kesepakatan target di Uni Eropa di tengah gejolak internal dan tren global yang menurun adalah sebuah keberhasilan kompromi, menunjukkan bahwa 27 negara anggota Uni Eropa masih mampu menentukan satu arah kebijakan iklim.
COP30 di Belem diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan dan langkah-langkah praktis yang mampu mempercepat transisi energi dan mitigasi iklim di seluruh dunia.