10 August 2024 22:20
Wacana dibentuknya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus memaksa bakal calon potensial yang memiliki elektabilitas tinggi gigit jari. Pasalnya, kader yang masuk KIM Plus terpaksa ikut keputusan kolektif seperti yang terjadi pada mantan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.
Fenomena praktik borong koalisi yang muncul jelang pendaftaran paslon Pilkada Serentak 2024 tidak hanya memungkinkan hadirnya kotak kosong di kertas suara yang dinilai merugikan demokrasi. Melainkan juga, membuat calon potensial yang diinginkan warga tenggelam sebelum berlaga.
Wakil Ketua Umum PAN sekaligus Wali Kota Bogor dua periode, Bima Arya Sugiarto mengaku pasrah dan mundur dari pencalonan dirinya di Pilkada Jawa Barat. Lantaran mengikuti putusan partai yang mendukung politisi Gerindra Dedi Mulyadi sebagai cagub Jawa Barat.
Padahal Bima Arya sudah diberi mandat oleh PAN untuk mengonsolidasi struktur partai ke Jawa Barat dan menjajaki peluang koalisi.
"InsyaAllah saya mendukung penuh keputusan dari Pimpinan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk berada dalam barisan Koalisi Indonesia Maju mendukung penuh pencalonan Kang Dedi Mulyadi mantan Bupati Purwakarta dua periode untuk maju menjadi gubernur Jawa Barat," kata Bima Arya.
Sinyal mundurnya Bima Arya juga selaras dengan pernyataan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan yang menyebut anggota Koalisi Indonesia Maju ikut keputusan pemimpinnya, Prabowo Subianto dalam kandidasi paslon Pilkada 2024.
"Jadi begini, kalo koalisi ke pilkada, kita ikut pemimpin. Pemimpin kita Pak Prabowo, apa arahan beliau kita ikut," kata Zulhas.
Apa yang menimpa Bima Arya berpeluang terjadi pula terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta dari Partai Golkar, Jusuf Hamka alias Babah Alun. Pengusaha jalan tol itu terancam tak jadi maju di Pilgub Jakarta jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. PKS mendapat garansi untuk kadernya menjadi cawagub Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta.
Baca juga: Rekomendasi untuk Anies Kedaluwarsa, PKS Mulai Merapat ke KIM |