Harga rumah yang terus meroket, terutama di kawasan Jakarta, membuat masyarakat kelas menengah semakin sulit memiliki hunian layak di pusat kota. Di tengah keterbatasan lahan dan tingginya biaya properti, konsep rumah flat hadir sebagai solusi alternatif yang terjangkau.
Salah satu contoh inovatif hadir di kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat. Seorang arsitek sekaligus inisiator Marco Kusumawijaya membangun rumah flat empat lantai di atas lahan 280 meter persegi miliknya yang telah ada sejak 1990. Ide ini muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap krisis perumahan yang kini tidak hanya menimpa masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga mulai menyentuh kalangan menengah atas.
“Jika dibiarkan, pusat kota hanya akan jadi area komersial. Hunian makin menjauh ke pinggiran dan membebani kota dalam hal transportasi, polusi, dan lingkungan,” ujar Marco dikutip dari Selamat Pagi Indonesia, Metro TV pada Senin, 21 Juli 2025.
Didukung oleh terbitnya Peraturan Gubernur
DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 yang melegalkan hunian flat, Marco membentuk koperasi perumahan. Melalui sistem koperasi, rumah flat dibangun tanpa biaya marketing, tanpa keuntungan pengembang, dan tanpa pinjaman bank, sehingga bisa memangkas biaya secara signifikan. Enam kepala keluarga kini tinggal di bangunan tersebut, yang resmi selesai pada 2024.
Hunian empat lantai ini terdiri dari kantor dan toko buku di lantai dasar, serta tempat tinggal di lantai dua hingga empat. Setiap unit rumah flat memiliki luas antara 40 hingga 120 meter persegi, dengan harga mulai dari Rp380 juta, jauh lebih murah dari rata-rata harga rumah di Jakarta yang bisa mencapai miliaran rupiah.
Salah satu penghuni Andi, wirausahawan asal Malang, mengaku tidak pernah membayangkan bisa memiliki rumah di pusat Jakarta.
“Dulu mimpi pun tidak berani. Tapi dengan konsep koperasi ini, semuanya jadi masuk akal,” kata Andi. Selain itu, biaya transportasi juga jauh lebih hemat karena lokasi hunian yang strategis dekat dengan
MRT dan KRL.
Para penghuni rumah flat ini tidak memiliki sertifikat hak milik, melainkan terikat melalui perjanjian sewa jangka panjang, mulai dari 5 hingga 60 tahun. Meski demikian, mereka merasa konsep ini jauh lebih masuk akal dan adil, terutama bagi generasi muda yang sulit membeli rumah konvensional.
(Tamara Sanny)