19 March 2025 08:18
Dari hari ke hari kian bertambah mereka yang meragukan prospek perekonomian negeri ini ke depan. Sikap itu wajar, amat wajar, karena sejumlah indikator ekonomi kita belum menunjukkan geliat yang sangat berarti. Bahkan, sejumlah indikator ekonomi justru masih bertahan di zona merah.
Seperti kejadian di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin, yang sempat menghentikan perdagangan atau trading halt yang dipicu penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 5%. Meski dalam beberapa pekan IHSG cenderung turun, namun sepanjang perdagangan sesi pertama merupakan penurunan paling tajam di tahun ini.
Mekanisme penghentian perdagangan seperti itu sebelumnya pernah diterapkan saat pandemi covid-19. Bahkan, pada perdagangan sesi I, kemarin, IHSG ditutup turun 6,12% di level 6.078. Angka itu merupakan yang terendah dalam empat tahun terakhir.
Pemerintah dan pihak BEI angkat bicara. Mereka seakan memiliki kesepahaman bahwa biang kerok memerahnya bursa saham dalam negeri disebabkan kondisi global. Kondisi itu seperti pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal atau Federal Open Market Committee (FOMC) yang rutin digelar oleh bank sentral Amerika Serikat atau The Fed, juga investor yang dianggap memilih wait and see atas kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Bila benar bahwa faktor utama rontoknya IHSG, pertanyaan berikutnya bisa diajukan, yakni mengapa di antara indeks saham di berbagai belahan dunia lainnya berada di zona hijau? Mengapa hanya IHSG yang jatuh di zona merah?
Akan tetapi, di saat IHSG rontok, bursa saham regional Asia justru menguat. Hal itu sebagaimana diperlihatkan berbagai indeks seperti Nikkei, Shanghai, Kuala Lumpur, dan Straits Times yang semuanya menguat. Rintoknya IHSG dibarengi dengan kaburnya modal asing dari negeri ini.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) pada 10- 13 Maret, investor asing tercatat menarik modalnya melalui aksi jual hingga Rp10,15 triliun. Itu menunjukkan di awal tahun ini, investor asing sudah menarik dana sebesar Rp26,92 triliun dari pasar saham secara tahun berjalan (year to date/ytd).
Kondisi perekonomian global dipastikan memang berpengaruh terhadap bursa saham dalam negeri. Tapi, bila kenyataannya saham-saham di tempat lain justru menghijau dan dana-dana asing masuk ke tempat mereka, apa yang mesti dilakukan?
Pertanyaan seperti itu tidak bisa hanya dijawab dengan kalimat yang cenderung menghibur diri. Ketimbang mencari 'kambing hitam' bahwa faktor eksternal menjadi penyebab utama rontoknya harga saham, lebih bijaksana bila para pemangku kebijakan mengevaluasi berbagai kebijakan ekonomi yang ditelurkan sehingga membuat respons pasar saham negatif.
Pemerintah harus segera memitigasi kondisi itu. Perbaiki kepercayaan pasar dengan mengurangi produksi pernyataan-pernyataan yang memicu keragu-raguan, bahkan menyulut kepanikan. IHSG, begitu juga dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, adalah salah satu indikator awal untuk mengukur tingkat kepercayaan pelaku ekonomi terhadap kebijakan pemerintah.
Maka, jaga dan kembalikan kepercayaan itu. Tidak cukup memulihkan kepercayaan pasar dengan sekadar beramai-ramai mendatangi bursa. Pasar tentu membutuhkan tindakan nyata lahirnya kebijakan-kebijakan yang lebih terukur, menenangkan, dan pasti.