BRICS vs Tarif Trump

7 July 2025 23:35

Momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17  BRICS di Rio de Janeiro, Brasil, berlangsung di tengah bayang-bayang akan dimulainya penerapan tarif oleh Donald Trump untuk barang yang diekspor ke Amerika Serikat. Namun, negara-negara BRICS tampaknya memahami bahwa posisi tawar Amerika Serikat tidak lagi sekuat dulu.

Presiden Prabowo Subianto hadir dalam KTT ke-17 BRICS yang mengusung tema "Strengthening Global South Cooperation for More Inclusive and Sustainable Governance."

BRICS sendiri merupakan akronim dari lima negara dengan ekonomi berkembang besar, yaitu Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Kelompok ini dibentuk pada 16 Juni 2009 untuk meningkatkan kerja sama ekonomi, politik, dan keamanan, serta mengurangi ketergantungan pada institusi negara barat seperti IMF dan Bank Dunia.

Selain lima negara pendiri, kini telah bergabung pula Mesir, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Indonesia, yang secara resmi menjadi anggota penuh pada 6 Januari 2025.

“Ini pertama kali Indonesia hadir sebagai anggota penuh dan negara-negara menyambut dengan hangat kehadiran Indonesia. Bahkan sebelum Bapak Presiden bicara mengenai Bandung Spirit, Ketua, tadi ini Brasil menyampaikan mengenai dasasila Bandung,” jelas Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir.

KTT ini dihadiri langsung oleh sejumlah pemimpin negara BRICS. Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin hadir secara daring, sementara Presiden Tiongkok Xi Jinping diwakili oleh Perdana Menteri Li Qiang. Dalam forum tersebut, Presiden Prabowo mendorong penguatan multilateralisme dan pemanfaatan New Development Bank (NDB) secara lebih optimal.

Konflik dengan Donald Trump

Di tengah KTT, Presiden AS Donald Trump menunjukkan kekesalannya terhadap sikap negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, yang mengecam rencana tarif dagang baru pada Agustus mendatang. Melalui Truth Social, Trump mengancam akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara anggota BRICS.

Jika ancaman tarif ini diterapkan, Indonesia sebagai anggota baru BRICS akan turut terkena dampaknya.

"Jadi yang Indonesia hadapi sekarang adalah potensi tekanan Amerika Serikat, bukan hanya kepada Indonesia, tapi kepada semua anggota BRICS," jelas pakar hubungan internasional, Teuku Rezasyah.

"Hal ini benar-benar memporak-porandakan ekonomi dunia dan bagi Indonesia berdampak besar. Ini akan sangat berdampak pada ekspor, pencapaian Astacita, dan kemampuan Indonesia mengakselerasi ekonominya. Saya khawatir target pertumbuhan 8% itu akan lebih lama kita capai," lanjutnya.

Namun, di dalam negeri, Presiden Trump sendiri sedang menghadapi tekanan serius akibat inflasi yang mengkhawatirkan sejak kebijakan tarif diterapkan. Karena itu, negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, diyakini tidak akan mudah lagi digertak oleh Donald Trump.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Sofia Zakiah)