Bedah Editorial MI: Maut Mengintai di Perlintasan Sebidang

21 July 2023 08:49

Tiga insiden kereta api (KA) di lokasi yang berbeda terjadi pada hari yang sama, Selasa (18/7). Ketiga insiden itu ialah KA Sribilah Utama di Asahan Sumatra Utara, KA Kuala Stabas di Lampung, dan KA Brantas yang menabrak sebuah truk tangki di Jawa Tengah. 

Tiga kecelakaan itu menambah daftar panjang insiden di perlintasan sebidang antara jalur KA dan jalan raya. Fakta itu seakan menggambarkan bahwa bangsa ini tidak pernah belajar dari sejarah. Sejak dulu rentetan musibah di sekitaran rel kereta api seolah tak pernah berhenti. 

Ambil contoh di Jawa Timur, berdasarkan catatan Polda Jatim pada 2022 lalu, terjadi 175 kasus yang menyebabkan 105 orang dilaporkan meninggal dunia. Kita tentu juga tidak lupa insiden yang terjadi hampir 10 tahun lalu, ketika sejumlah anak bangsa harus meregang nyawa akibat kecelakaan maut antara commuter line jurusan Serpong-Tanah Abang dan truk tangki bermuatan bahan bakar minyak (BBM). 

Banyak lagi kasus kecelakaan lain yang melibatkan kereta api dan kendaraan pengguna jalan raya. Jika disimak, insiden-insiden itu terjadi lantaran pengemudi kendaraan ngotot dan nekat menerobos perlintasan jalan raya dan jalur kereta api di saat sang kuda besi melintasi jalurnya. 

Padahal, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan telah mengatur bahwa kereta api ialah pemilik hak utama untuk melintasi rel. Pengemudi kendaraan yang tidak menghentikan kendaraan di saat sinyal sudah berbunyi atau palang pintu telah ditutup, terancam sanksi pidana. 

Namun fakta membuktikan, angka kecelakaan di perlintasan sebidang rel kereta tidak pernah berkurang hanya dengan modal sosialisasi untuk menumbuhkan budaya publik maupun dengan ancaman penegakan hukum. Harus ada terobosan konkret untuk menurunkan angka kecelakaan tersebut, termasuk salah satunya dengan mengurangi jumlah perlintasan sebidang. 

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan pada 2022, hanya 39,2% perlintasan resmi dan dijaga dari jumlah 4.194 perlintasan sebidang jalan raya dan rel. Sisanya merupakan perlintasan resmi tapi tidak dijaga atau berkategori liar. Dari situ saja sebenarnya sudah bisa diperkirakan potensi terjadinya kecelakaan. 

Karena itu penutupan perlintasan sebidang kereta menjadi langkah paling efektif. Harus ada peningkatan menjadi perlintasan tidak sebidang berupa flyover dan underpass. Kemudian, menutup perlintasan sebidang yang tidak berizin atau liar. Selain itu, memasang peralatan keselamatan dan perlengkapan jalan di perlintasan sebidang.

Rekomendasi itu sesungguhnya bukan barang baru. Sebab, semua sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Yang selalu menjadi problem ialah eksekusinya. Maka, tak mengherankan hingga 16 tahun UU itu berlaku, persoalan perlintasan sebidang masih saja terjadi dan memakan korban.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat, hingga 2022, dari 199 titik perlintasan sebidang di jalan nasional sudah tertangani 49 titik. Untuk membangun satu flyover maupun underpass di jalan nasional menghabiskan anggaran sekitar Rp150 miliar. Dengan asumsi itu, untuk menutup 150 perlintasan sebidang lain, pemerintah butuh dana sekitar Rp22,5 triliun. 

Anggaran itu sejatinya tidak seberapa besar jika kita melihat dari perspektif sebagai upaya negara melindungi nyawa dan keselamatan rakyatnya. Tak juga terlalu besar bila dibandingkan dengan anggaran yang digunakan untuk membangun infrastruktur lain yang justru tak berkaitan langsung dengan keselamatan warga.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Sofia Zakiah)