17 June 2023 08:05
Mantan menteri luar negeri Hassan Wirajuda menilai pengakuan Perdana Menteri Belanda atas Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 kali ini merupakan langkah mundur dan tidak tulus. Lantaran Belanda menggunakan standar ganda dalam memaknai kemerdekaan Republik Indonesia dalam konteks pengakuan atas Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus.
"Kalau kita baca secara rinci dalam statement Perdana Menteri Rutte dan juru bicaranya itu tidak tulus. Pernyataan mengakui kemerdekaan disertai berbagai kualifikasi yang pada akhirnya menegasi pernyataan itu sendiri," kata Hassan di Primetime News Metro TV, Jumat 16 Juni 2023.
Hassan menyebut negara-negara penjajah dalam lima tahun belakang banyak menengok kembali sejarah. Ia menilai Belanda tidak seperti negara-negara penjajah lain di Eropa yang meminta maaf dan membayar gant rugi terhadap negara yang dijajah.
"Jerman terhadap Namibia berujung permintaan maaf dan ganti rugi. Inggris juga terhadap kejahatan kemanusiaan di Kenya pada 60-an juga berujung permintaan maaf. Demikian juga Belgia. Jadi, dibandingkan koleganya di negara-negara Barat yang juga sama-sama penjajah, Belanda ini telat," tuturnya.
Pengakuan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, tentang kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu sebenarnya bukan hal baru. Sebab pada 16 Agustus 2005 atau sehari sebelum peringatan 60 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pengakuan serupa pernah disampaikan Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf Bot.
Dalam pidato di Gedung Departemen Luar Negeri di Jakarta, Ia mengatakan secara moral dan politik Belanda mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Bot juga menghadiri upacara kenegaraan peringatan hari ulang tahun ke-60 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2005 di Istana Negara, Jakarta. Sekaligus menjadi pejabat Belanda pertama yang menghadiri peringatan kemerdekaan RI.