Bencana kelaparan yang melanda Distrik Amuma, Yahukimo, Papua, seakan menambah kegelisahan negeri ini yang sedang ketar-ketir dengan terus turunnya nilai tukar rupiah dan inflasi yang melambung.
Laporan yang diterima pemerintah, 23 orang meninggal dunia sejak kelaparan melanda distrik itu pada Agustus 2023, sedangkan 12 ribu warga yang tersebar di 13 kampung hingga kini tengah berjuang keras menahan lapar.
Curah hujan yang tinggi, tetapi kerap diselingi cuaca panas disebut sebagai penyebabnya. Fenomena alam itu membuat perkebunan warga gagal panen, ubi dan keladi sulit berbuah.
Fakta bencana kelaparan itu benar-benar menampar wajah Indonesia yang baru saja punya Whoosh, kereta cepat pertama di Asia Tenggara. Whoosh digadang sebagai lompatan teknologi sekaligus sebagai lompatan negeri ini menuju level negara maju.
Namun, untuk apa negara ini punya sepur dengan banderol investasi Rp110,16 triliun itu di saat masih ada warga mereka yang kelaparan? Ironis, di saat warga Jakarta berbondong-bondong menjajal kereta Whoosh ke Bandung, warga Yahukimo melepas nyawa dilanda kelaparan sejak Agustus.
Jika bicara mimpi, negara ini sepertinya paling jago bermimpi, termasuk mimpi gemah ripah loh jinawi. Negara yang tenteram, makmur, dan tanahnya sangat subur menjadi mimpi para pemimpin negeri ini. Mudah ditebak, mimpi negeri yang subur dan makmur pasti ada di visi-misi para bakal capres-cawapres yang baru-baru ini sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jangan lupa, kedaulatan pangan juga menjadi visi-misi Joko Widodo (Jokowi) di dua kali pilpres, pada 2014 dan 2019. Namun, visi-misi itu berhenti menjadi bunga tidur tidak bisa menyentuh warga Yahukimo. Mirisnya, hal itu terjadi di penghujung periode kedua masa kekuasaan Jokowi.
Sesungguhnya bencana kelaparan itu sulit diterima nalar sehat. Bagaimana bisa masih ada warga mati kelaparan di sebuah negara yang punya begitu banyak instrumen yang mengurus masalah pangan?
Ada Kementerian Pertanian (Kementan), ada Badan Pangan Nasional (Bapanas), ada Badan Urusan Logistik (Bulog), ke mana saja mereka? Apalagi, untuk tahun ini APBN menganggarkan Rp104,2 triliun untuk ketahanan pangan. Ke mana larinya duit triliunan itu?