NEWSTICKER

Bedah Editorial MI: Potret Buram TNI

N/A • 30 August 2023 09:12

Nama baik Tentara Nasional Indonesia kembali tercoreng. Kasus terbaru ialah penculikan dan penganiayaan hingga tewas seorang pemuda penjaga toko kosmetik oleh tiga prajurit TNI, yakni salah satunya ialah anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Ketiga prajurit berpura-pura sebagai polisi dan menuduh pemuda asal Bireun, Aceh, yang bekerja di Tangerang Selatan, Banten, itu menjual obat ilegal. 

Penganiayaan terjadi pada 12 Agustus 2023 dan pihak keluarga diminta memberi uang tebusan Rp50 juta atau korban akan dibunuh. Jenazah korban kemudian ditemukan warga mengapung di sebuah sungai di Karawang, Jawa Barat, pada 15 Agustus 2023. 

Masih lekat pula dalam ingatan, kekejian Kolonel Priyanto yang membuang dua sejoli yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas anak buahnya di Nagrek, Jawa Barat. Bukannya dibawa ke RS, Salsa yang kemudian meninggal dunia dan Handi yang sebenarnya masih hidup, dengan keji dibuang ke sungai. 

Belum lagi, kasus Sertu Yalpin Tarjun dan Pratu Rian Hermawan yang menjual dan menjadi perantara penjualan 75 kilogram sabu dan 40 ribu butir pil ekstasi. Ada pula, enam anggota TNI yang terlibat kasus perampokan, pembunuhan, dan mutilasi empat warga di Papua. 

Rentetan kasus tersebut menunjukkan kegawatan kriminalitas oleh prajurit. Penyebabnya, bisa sangat banyak. Namun, sebagaimana seluruh kasus kejahatan di muka bumi, tidak ada cara lain untuk memberikan efek jera, selain hukuman maksimal.

Hal terakhir inilah yang sampai sekarang disangsikan bisa berlaku bagi prajurit TNI. Jangankan hukuman maksimal, soal posisi sama di mata hukum pun tampak sekadar jargon. Contoh gamblangnya ada pada kasus 75 kg sabu dan 40 ribu ekstasi itu. Sementara itu, Pengadilan Tinggi Medan menjatuhkan vonis mati bagi 2 warga sipil yang terlibat di kasus itu, Pengadilan Negeri Militer 1-02 Medan justru hanya menjatuhkan vonis penjara seumur hidup bagi Sertu Yalpin dan Pratu Rian. Padahal, oditur pun menuntut keduanya dengan vonis mati. 

Vonis penjara seumur hidup juga yang diperoleh prajurit TNI yang sudah jelas melakukan pembunuhan berencana. Contohnya, kasus mutilasi di Papua itu, yakni tiga prajurit divonis penjara seumur hidup. Hal serupa juga didapatkan Kolonel Priyanto. 

Dengan lemahnya putusan, tidak salah jika peradilan militer kerap dituding sebagai jalan impunitas bagi penjahat-penjahat berseragam itu. Tidak saja melukai rasa keadilan masyarakat, peradilan militer yang lemah ini sebenarnya ikut merusak institusi TNI sendiri.

Para hakim yang semestinya menjadi garda terakhir untuk menegakkan Sapta Marga TNI, justru ikut merusaknya. Dengan menjadi pelindung, para hakim sesungguhnya sudah ikut melanggengkan dan kian menyuburkan degradasi moral. 

Tidak heran, desakan masyarakat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer semakin kuat. Bahkan pada 2013, mantan Komandan Puspom TNI, Mayjen (Purn) Syamsu Djalal, sudah menyuarakan reformasi peradilan militer. Hal ini melalui disertasinya yang berjudul Reformasi Peradilan Militer dalam Rangka Penerapan Prinsip Rule of Law. Ia menyatakan independensi ialah jaminan atau syarat mutlak bagi tercapainya imparsialitas. 

Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen itu juga menyoroti, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus menjadi perhatian Pemerintah dan DPR. Dalam UU 34/2004 Pasal 65 ayat (2) dinyatakan seorang prajurit TNI yang melakukan kesalahan di luar kemiliteran dapat diadili di pengadilan sipil. Namun, dalam implementasinya, UU itu tidak pernah terjadi. Sebab itu, ia menekankan, UU Peradilan Militer harus segera diamendemenkan.

Keengganan negara dalam mengupayakan amendemen itu sama saja dengan membiarkan institusi TNI larut dalam kebobrokan. Negara yang mencintai institusi militernya semestinya yang paling berani mengupayakan reformasi nyata. 

Namun demikian, aksi biadab dan kriminalitas sejumlah prajurit TNI tak hanya bisa diselesaikan melalui penegakan hukum. Penanganannya harus dilakukan dari hulu sampai hilir. Mulai dari seleksi prajurit TNI harus benar-benar serius. Seleksinya harus ketat, bukan hanya ketahanan dan kemampuan fisik yang prima, melainkan aspek kejiwaan tak boleh ada kompromi apabila ada calon prajurit yang nilainya di bawah standar. 

Pembinaan mental dan spiritual prajurit tidak boleh kendur. Bahkan, sebaiknya dilakukan tes psikologi secara berkala untuk mengetahui kecenderungan mental prajurit. TNI ialah kebanggaan bangsa dan negara, penjaga Negara Kesatuan Republik INdonesia. Prajurit TNI ialah anak bangsa terbaik yang memiliki kepribadian, ketangguhan, dan kesetiaan untuk memegang teguh sumpah prajurit. Bukan menjadi bandit, apalagi pembunuh warga sipil.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Silvana Febriari)

Tag

tni