Banjir yang melanda Jabodetabek sejak awal pekan ini semakin meluas ke beberapa wilayah di Jawa Barat, seperti Karawang dan Sukabumi. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menegaskan bahwa tingginya curah hujan menjadi faktor utama banjir, sementara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti adanya kerusakan lingkungan di kawasan hulu yang turut memperparah dampaknya.
Juru Bicara Kementerian PU, Aisyah Zakiyyah, memastikan bahwa tidak ada tanggul yang jebol dalam peristiwa ini. Ia menjelaskan bahwa tingginya debit air menjadi pemicu utama banjir.
“Saat ini tidak ada tanggul yang jebol. Debit airnya memang dua kali lipat dari biasanya. Kalau melihat 25 tahun ke belakang, rata-rata debit air itu sekitar 600 m³, tetapi saat banjir terjadi kemarin, angkanya mencapai 1.200 m³. Jadi, dari hulu ke hilir di Kali Bekasi sudah over capacity karena hujan yang sangat deras,” ujarnya seperti dikutip dari
Metro Siang Metro TV, Jumat, 7 Maret 2025.
Pemerintah telah berupaya melakukan pengendalian banjir dengan pembangunan
infrastruktur, namun proyek tersebut masih terkendala pembebasan lahan.
“Saat ini masih ada sekitar 30 km di Kali Bekasi yang membutuhkan tanggul, tetapi belum bisa dibangun karena lahannya belum bisa dibebaskan. Ini perlu koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah daerah,” jelas Aisyah.
Namun, WALHI menilai bahwa bukan hanya
curah hujan yang menyebabkan banjir besar di Bekasi. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi, membeberkan bahwa perusakan kawasan hulu, terutama akibat aktivitas pertambangan dan alih fungsi lahan, memperparah kondisi banjir.
“Tim kami melakukan pengecekan lapangan dan overlay citra satelit. Faktor terbesar yang menyebabkan banjir di Bekasi adalah karena kawasan pegunungan kapur di hulu telah dibongkar menjadi tambang semen dalam empat tahun terakhir. Selama ini, air diserap oleh pegunungan kapur dan menjadi air tanah. Sekarang, karena sebagian gunung sudah dibongkar, air yang seharusnya terserap malah mengalir deras ke hilir,” ungkapnya.
Selain itu, WALHI juga menemukan adanya pembukaan lahan besar di Jonggol yang diduga untuk lapangan golf atau kompleks perhotelan, serta perubahan tutupan hutan untuk kebutuhan
pariwisata.
“Banyak perkemahan yang membuka hutan agar mendapatkan pemandangan bagus, mengubahnya menjadi padang rumput. Padahal, daya serap pegunungan kapur terhadap air jauh lebih besar dibandingkan hutan. Jika pertambangan ini terus dibiarkan, ke depan volume air yang mengalir ke Bekasi akan semakin besar,” tambah Zenzi.
Mengenai proyek normalisasi
sungai, WALHI menilai upaya tersebut mungkin berpengaruh, tetapi bukan solusi utama jika daya tampung dan daya dukung lingkungan di kawasan hulu tidak dijaga.
“Bisa jadi proyek normalisasi tidak perlu dilakukan kalau daya tampung dan daya dukung kawasan hulu tetap terjaga,” kata Zenzi.
Sementara itu, Aisyah menyebut, pemerintah masih berupaya melakukan
mitigasi jangka pendek dan panjang.
“Secara short term, kami masih standby 24 jam untuk memantau tinggi muka air, mengoperasikan pompa, dan menyiapkan sandbag serta bronjong untuk mencegah air masuk ke permukiman. Sementara secara long term, pembangunan tanggul tetap menjadi prioritas, tetapi harus menunggu pembebasan lahan,” jelas Aisyah.
(Zein Zahiratul Fauziyyah)