Belanda Belum Akui Kejahatan Ekstrem Masa Perang Kemerdekaan RI

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyatakan pengakuannya terhadap 17 Agustus 1945 sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kendati begitu, Belanda tidak mengakui secara yuridis kejahatan perang periode 1945 hingga 1950. 

Setelah 78 tahun, pernyataan pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 terucap dari PM Belanda Mark Rutte. 

Pernyataan Rutte tersebut disampaikannya di tengah perdebatan para anggota  Parlemen Belanda pada 14 Juni 2023, mengenai hasil penelitian tentang kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan dan perang di Indonesia periode 1945-1950.

Hasil penelitiannya menyebut adanya kekerasan ekstrem militer Belanda yang terstruktur. 

Dalam sesi debat, anggota Parlemen Belanda, Corinne Ellemeet, mendesak pemerintah Belanda memberi respons terhadap proklamasi 17 Agustus 1945. Selain itu, Ellemeet juga meminta penjelasan soal hukum perang terutama pelanggaran hukum militer.

Rutte lantas merespons untuk proklamasi 17 Agustus 1945, bahwa Belanda sudah mengakui 17 Agustus tanpa keraguan. Rutte mengatakan akan segera menghubungi Presiden Joko Widodo untuk mendiskusikannya.

Pengakuan tersebut memiliki konsekuensi atas berbagai hal. Salah satunya soal pengakuan kejahatan perang. 

Belanda mengakui secara moral ada fakta kekerasan ekstrem, tapi tidak setuju disebut sebagai kejahatan perang secara hukum.

Meski begitu, Rutte meminta maaf atas nama pemerintah Belanda kepada Indonesia dan semua pihak yang dirugikan akibat perang.

Rutte mengatakan, masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Artinya, Belanda tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. 

Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan akan meminta masukan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengenai pernyataan Rutte.  

Pernyataan Rutte tentang proklamasi 17 Agustus adalah babak baru. Namun, perlu pengesahan secara legal ketimbang pernyataan. Karena sebelum ini Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar, yaitu 27 Desember 1949.