Dalam beberapa hari terakhir, hujan masih kerap turun di wilayah Jabodetabek, khususnya pada sore hingga malam hari. Padahal seharusnya, sesuai dengan perkirakaan BMKG, cuaca di Indonesia sudah masuk musim kemarau.
Pada awal Maret 2023, BMKG memprediksi musim kemarau tahun ini akan datang lebih awal. Sejumlah wilayah seperti Bali, NTB, NTT dan Jawa Timur akan mengalami kemarau pada April. Sedangkan wilayah Jabodetabek dan Sumatera Selatan, musim kemarau datang pada Juni.
Tidak hanya itu, BMKG juga memperkirakan musim kemarau tahun ini lebih kering dan lebih panjang durasinya. Oleh karena itu BMKG mengingatkan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk lebih siap serta antisipatif terhadap hal ini.
Hal yang mendasari kemarau akan lebih kering dan lebih panjang ini dikarenakan semakin menguatnya intensitas El Nino dan Indian Ocean Dipole. Dua fenomena ini terjadi bersamaan seperti pada 2019.
Dampak adanya El Nino adalah adanya bencana kekeringan, curah hujan yang minim, dan karena kondisi sangat kering, berpotensi munculnya penyakit dan hama.
Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini berbeda dengan perkiraan BMKG. Hujan diketahui masih turun di sejumlah wilayah Indonesia.
Menurut ahli dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kondisi yang terjadi pada saat ini adalah kemarau basah. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor angin monsun timur dan siklon tropis.
Sedangkan menurut BMKG, turunnya hujan pada saat musim kemarau adalah merupakan fenomena harian yang bisa memicu cuaca ekstrem yang berujung pada bencana hidrometeorologi. Salah satu penyebab terjadinya anomali cuaca ini karena El Nino dan fenomena iklim global lainnya yang belum signifikan.
Selain itu adanya fenomena atmosfer Madden Julian Oscilation (MJO) juga berperan. Fenomena ini terpantau ada di Samudera Hindia dan tidak berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.