Toleransi memang bukan hal baru bagi bangsa kita. Keramahan yang menjadi karakter sejak zaman nenek moyang pun merupakan wujud dari jiwa toleransi.
Sepanjang perjalanan bangsa ini, kita telah melihat toleransi yang semakin dewasa. Sejumlah gejolak yang terjadi, termasuk politik identitas, tidak memutus persaudaraan.
Awal Ramadan 1444 Hijriah ini pun kita menyaksikan toleransi yang tinggi antarumat beragama di Bali. Tarawih pertama yang jatuh bertepatan dengan Hari Raya Nyepi tidak mengurangi sukacita maupun kekhusyukan beribadah umat Islam maupun umat Hindu.
Muslim di Pulau Dewata tetap bisa bertawarih di masjid dengan sejumlah aturan yang merupakan kesepakatan Majelis Desa Adat (MDA) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali. Aturan tersebut di antaranya tidak menggunakan kendaraan atau hanya dengan berjalan kaki, tidak menggunakan pengeras suara, dan hanya menggunakan penerangan yang terbatas.
Aturan itu bukan kemenangan satu pihak. Justru, ini merupakan jalan tengah bagi kemenangan bersama. Sebab, di satu sisi keutamaan berjemaah dapat tetap dicapai umat Islam, di sisi lain umat Hindu juga tidak terusik dalam menaati empat pantangan saat Nyepi. Tidak mengherankan jika pelaksanaan Tarawih pertama di Bali berjalan baik, seperti halnya di wilayah-wilayah lain di Nusantara.
Semangat persaudaraan itu pula yang semestinya terus ada sepanjang Ramadan karena di Bulan Suci ini memang bukan hanya untuk meningkatkan kesalehan ritual, tapi juga kesalehan sosial.
Maka, umat Islam pula yang seharusnya menjadi paling depan dalam menjunjung persaudaraan, termasuk bertoleransi. Harus diakui, hingga kini, masih ada saja muslim di Indonesia yang mengartikan status umat mayoritas dengan serbamanja dalam beribadah.
Demi alasan ibadah, muslim di beberapa tempat bisa mudah sewenang-wenang, bahkan sampai melanggar hukum. Jangankan kedamaian lingkungan, penghidupan orang lain pun tak dihiraukan dengan alasan kekhusyukan ibadah.
Di beberapa kasus, ada pula muslim yang membelokkan masalah kriminal ataupun sosial umum ke isu agama. Hal itu sangat berbahaya karena amat mudah menyulut emosi masyarakat dan dapat berakhir sangat tragis.
Ironisnya, kesewenang-wenangan bukan hanya dilakukan tingkat perorangan maupun warga, melainkan juga oleh organisasi. Para pengurus organisasi yang belum satu pikiran dalam memahami toleransi dapat berakhir ke kebijakan yang bertentangan.
Contohnya saja, imbauan penutupan warung makan yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesi (MUI) Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, tahun lalu, yang kemudian diluruskan MUI Pusat menjadi imbauan penggunaan tirai. Berbagai arogansi atas nama umat mayoritas itu tidak boleh terjadi lagi pada Ramadan ini maupun seterusnya di masa mendatang.
Tokoh maupun umat harus menyadari bahwa toleransi justru harus dikuatkan demi menghadapi tantangan zaman yang amat berat sekarang ini. Betul bahwa ada rambu-rambu yang harus dihormati antarumat beragama, tetapi diskusi tetaplah harus diutamakan ketimbang arogansi umat.
Untuk menghasilkan itu, seluruh tokoh muslim, baik pendakwah, cendekiawan, maupun pengusaha haruslah menjadi contoh pejuang persaudaraan di lingkup masing-masing. Ini pun bukan sekadar dalam ceramah dan petuah-petuah, melainkan senyatanya di keseharian.
Sebab itu, adanya diskusi-diskusi yang merangkul kalangan lintas agama sudah semestinya terus didorong. Para pendakwah dan tokoh agama juga diharapkan memperluas jangkauan dakwah mereka di luar tembok-tembok rumah ibadah maupun sekolah.
Tokoh-tokoh agama yang terjun langsung di tengah masyarakat dan di berbagai aktivitaslah yang sesungguhnya dapat menyuntikkan semangat toleransi dengan lebih nyata dan efektif. Dari situ pula, barulah umat Islam akan benar-benar menjadi umat penyebar kedamaian