Tragedi tenggelamnya kapal motor penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya di Selat Bali membuka kembali perhatian terhadap keselamatan transportasi di Indonesia, terutama di musim libur dan masa wisata. Dalam diskusi bersama Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dan Direktur Kesiapsiagaan Basarnas Noer Isrodin Muchlisin memberikan pandangan komprehensif mengenai tingkat risiko dan kesiapan mitigasi di tiap moda transportasi.
Menurut Dwikorita, secara umum seluruh moda transportasi darat, laut, dan udara memiliki tingkat risiko yang sama akibat dinamika atmosfer yang masih aktif. Meskipun memasuki musim kemarau, hujan ekstrem dan gelombang tinggi masih kerap terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
“Namun, jika bicara dari segi sistem peringatan dini, monitoring, dan kapasitas mitigasi, maka transportasi udara adalah yang paling siap. Sementara untuk laut dan darat, sistemnya masih perlu ditingkatkan,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dikutip dari Metro Pagi Primetime Metro TV pada Senin, 7 Juli 2025.
Dwikorita menjelaskan bahwa masyarakat kini bisa lebih mudah mengakses informasi cuaca secara real-time melalui aplikasi Info BMKG, website, media sosial, hingga kanal telepon. Dengan teknologi ini, masyarakat dapat merencanakan kegiatan wisata secara lebih bijak sesuai dengan kondisi cuaca yang diprediksi hingga enam hari ke depan bahkan hingga ke tingkat kecamatan.
Namun, Dwikorita menyoroti bahwa komunikasi di sektor pelayaran masih menjadi tantangan besar. “Berbeda dengan transportasi udara yang terus dikawal oleh
air traffic control, kapal begitu keluar dari pelabuhan tidak memiliki sistem komunikasi yang sekuat itu. Sinyal
mobile pun tidak selalu tersedia di tengah laut,” ujarnya.
Direktur Kesiapsiagaan Basarnas, Noer Isrodin Muchlisin, membenarkan pernyataan BMKG dan mengungkapkan bahwa 80–90 persen kecelakaan yang ditangani Basarnas terjadi di wilayah perairan. Hal ini tak lepas dari kondisi geografis Indonesia yang didominasi laut serta kawasan wisata yang umumnya berada di daerah pantai dan pegunungan.
“Kalau dari segi sistem keselamatan, memang sektor udara telah meratifikasi aturan dari International Civil Aviation Organization (ICAO). Tapi sektor pelayaran masih perlu kita perkuat, terutama dalam integrasi informasi dan komunikasi dari nakhoda kapal, operator, dan otoritas SAR,” ungkap Noer.
Basarnas pun menyoroti pentingnya kecepatan informasi dalam operasi SAR. “
The biggest enemy of search and rescue operation is time (musuh besar dari pencarian dan evakuasi adalah waktu) Jika informasi kedaruratan datang terlambat, peluang penyelamatan korban pun menurun drastis,” tegasnya.
Untuk itu, Basarnas telah melakukan berbagai langkah mitigasi, termasuk edukasi kepada masyarakat di kawasan rawan bencana, pemberian peralatan
SAR ke nelayan, dan pelatihan penanganan darurat. Koordinasi intensif juga terus dilakukan dengan BMKG agar informasi cuaca disampaikan secara luas dan cepat ke masyarakat.
Keduanya sepakat bahwa kesadaran masyarakat juga menjadi kunci utama. Masyarakat diminta selalu memeriksa kondisi cuaca sebelum bepergian, memahami rambu-rambu keselamatan, serta mengikuti arahan dari otoritas terkait.
(Tamara Sanny)