Dalam pidato di Kongres Amerika Serikat, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu gamblang menyebut Amerika mendukung Israel termasuk di tengah perang yang berkecamuk dengan Palestina dengan korban puluhan ribu jiwa. Sementra di Beijing, Tiongkok berhasil mempertemukan dua kekauatan Palestina, Hamas dan Fatah. Keduanya sepakat membentuk pemerintahan di Palestina. Ahli Kajian Timur Tengah, Tia Mariatul Kibtiyah menjelaskan, ini merupakan kali kedua Tiongkok berhasil menjadi mediator konflik Timur Tengah. Sebelumnya Tiongkok menggelar upaya Open Diplomatic Relation antara Kerajaan Arab Saudi dengan Iran dan berakhir sukses.
"
Finally, Tiongkok
pay attention kepada Timur Tengah, biasanya tidak. Dan kali ini terjadi lagi, di tengah gejolak genosida di Gaza, Tiongkok tampil sebagai mediator dan berhasil menyatukan faksi Hamas dengan Fatah yang telah bersebrangan sejak 2007,"ungkap Tia
Menurut Tia, Tiongkok memiliki kuasa ekonomi dan mampu memberikan keuntungan dalam segi pemulihan ekonomi pada investasi masa depan Palestina. Hal ini juga dibuktikan pada keterlibatan Tiongkok dalam upaya diversifikasi ekonomi Arab Saudi. "Kemampuan Tiongkok dalam mempersatukan 12 faksi Palestina memberikan harapan menuju
two state solution," ungkap Tia.
Tia menyebutkan adanya pergeseran politik yang besar. "Kita dapat melihat Qatar yang sudah berani dengan Saudi Arabia melalui langkah pembukaan ladang gas antara selatan dan utara, tidak pernah dalam sejarah Qatar berani terhadap Saudi. Dan Saudi sekarang tidak sepenuhnya menghadap Amerika," jelas Tia.
Meski demikian, Tia menyebut adanya kekhawatiran gagalnya upaya persatuan Hamas dan Fatah. "Isi Deklarasi Beijing masih sama soal teritori seperti yang diributkan Hamas dan Fatah yang lalu-lalu," jelas Tia.
Tia lanjut menjelaskan, konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang sangat sulit diuraikan karena aktor yang bermain didalamnya sangat banyak. "Israel akan selalu menolak perjanjian atau deklarasi denga Hamas, Hamas akan disingkirkan dan itu tidak bisa karena Hamas adalah bagian dari Palestina. Belum aktor eksternal seperti Iran, Rusia," ujar Tia.
"Banyak aktor yang menginginkan konflik ini tidak selesai. Kalau saja aktornya tidak banyak, akan mudah mencapai two states solution," pungkas Tia.