Film besutan sutradara kondang Joko Anwar ‘Pengepungan di Bukit Duri’ menyita perhatian jagat maya dan pecinta film Tanah Air. Karya garapan rumah produksi Come and See Pictures tersebut bergenre laga-thriller dan akan tayang per Kamis, 17 April 2025.
Jason Sambouw dari Showbiz Metro TV berkesempatan mewawancarai Joko Anwar tentang penciptaan film terbarunya itu.
Apa keresahan yang mengepung kepala seorang Joko Anwar hingga menciptakan film ini?
Joko: Sebuah sebuah film hasil keresahan yang sudah lama sekali dari saya dan teman-teman. Pertama, banyak sekali di Indonesia masalah dan budaya-budaya yang sebenarnya harus kita pikirkan bagaimana cara memutus rantainya. Misalnya budaya korupsi, budaya kekerasan, dan sekarang budaya kekerasan itu adalah budaya yang bahkan di kalangan remaja aja sudah sangat dekat sekali.
Kami berpikir semua ini mungkin salah satu penyebabnya adalah kegagalan sistem pendidikan. Budaya korupsi, budaya kekerasan, dan kita mencoba untuk memantik percakapan. Kami bukan problem solver, kami filmmaker, tapi kami bisa memantik percakapan bagaimana hal ini bisa jadi perhatian dari kita semua.
Jangankan melalui percakapan, Joko Anwar melalui caption postingan promosi filmnya sudah begitu tajam: ‘kawal guru, kawal murid, kawal pendidikan di Indonesia’. Pesan yang ingin disampaikan dalam film ini sebetulnya mengawal apa?
Joko: Kita sering menyalahkan
we play the blaming game. Kalau misalnya kita sepakat atau bisa melihat gejala bahwa sistem pendidikan gagal. Kita sering menyalahkan murid, kita sering menyalahkan guru, padahal yang salah itu adalah sistemnya. Karena apa karena sistem gagal memberikan ruang yang nyaman dan aman bagi pendidik untuk bisa mengajar dan sistem pendidikan gagal untuk memberikan ruang yang aman dan nyaman untuk para siswa untuk menerima pelajaran dan gagal membentuk karakter.
Kita bergeser ke hal lain, anda sering mencuitkan soal isu-isu di Tanah Air, misalnya RUU TNI. Anda juga pernah turun ke jalan waktu demo Putusan Mahkamah Konstitusi kala musim Pilkada di DPR. Hal itu kan tidak terlepas dari peran intuisi anda dahulu sebagai wartawan. Apakah intuisi itu masih digunakan sampai dengan sekarang untuk membuat ruang-ruang diskusi dalam negeri?
Joko: Saya rasa kita sebagai warga negara salah satu kewajiban yang enggak bisa dibantah adalah peduli tentang pembuat kebijakan atau manajer dari negeri ini menjalankan tugas mereka. Jadi kalau misalnya kita merasa ada yang tidak pas tidak sesuai dengan tujuan dari bangsa Indonesia yang sudah digariskan di Undang-Undang 1945, ya kita harus berbicara.
Itu menurut saya tidak ada yang spesial. Bukan karena latar belakang saya pernah menjadi wartawan atau sekarang aku kebetulan bekerja sebagai
filmmaker. Tapi sebagai warga negara saja. Tugas kita untuk peduli dan tugas kita untuk menyuarakan kalau misalnya ada yang kita anggap tidak pas.