5 July 2023 08:43
Kembali masuknya Indonesia ke kelompok negara berpendapatan menengah atas, jangan membuat terbuai. Sebab, status Upper Middle-Income Country (UMIC) itu justru dapat menjadi bumerang jika hanya gegap gempita kenaikan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) perkapita.
Status UMIC sebelumnya didapat telah pada Juli 2020 berdasarkan PNB perkapita 2019, namun kemudian pukulan pandemi membuat Indonesia kembali turun ke status pendapatan menengah bawah. Dalam klasifikasi terbaru Bank Dunia, PNB per kapita Indonesia pada 2022 telah naik kembali dan berada di level US$ 4.580. Ini berarti naik 9,8?ri US$ 4.170 pada 2021.
Namun, kita harus paham jika PNB perkapita dipengaruhi banyak faktor, termasuk pertumbuhan ekonomi, kurs, sampai ke pertumbuhan populasi. Sementara, pengamat menilai, kenaikan PNB kali ini lebih disebabkan pendapatan ekspor komoditas primer dan setengah jadi. Artinya, kenaikan tersebut hanya temporer. Ketika harga komoditas melandai maka ekonomi bisa kembali melemah.
Dampak status UMIC sebagai sentimen positif bagi pemodal, juga belum tentu didapat. Sebagaimana yang telah terjadi bahkan sebelum pandemi, investor justru semakin beralih ke negara berpendapatan menengah bawah atau, malah, berpenghasilan rendah, karena upah buruh yang lebih rendah.
Dengan naik kelas pula maka Indonesia akan dipandang lebih mapan sehingga, sangat mungkin, tidak lagi mendapat keringanan fasilitas perdagangan. Contohnya, fasilitas pembebasan tarif barang-barang ke pasar Amerika Serikat melalui skema Generalized System of Preferences (GSP).
Kemudian, meski bisa memperoleh bunga pinjaman yang lebih rendah di pasar karena rating utang yang lebih baik, bisa saja Indonesia tidak lagi mudah mendapat skema pinjaman lunak (soft loan) dan skema hibah. Pinjaman-pinjaman yang didapatkan mungkin akan lebih banyak dalam skema pasar.
Bumerang status UMIC lebih mencemaskan jika kita melihat berbagai data ketimpangan di dalam negeri, yang justru makin lebar. Berdasarkan laporan World Inequality Report 2022, kelompok 50% terbawah hanya memiliki 5,46?ri total kekayaan ekonomi Indonesia pada 2021. Angka ini berarti bahkan lebih buruk dari 2001, yang sebesar 5,86%.
Di sisi lain, pada 2021, 10% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 60,2% ekonomi nasional. Dibanding 2001, angka itu naik cukup tajam dari 57,44%.
Laporan yang sama menyebutkan ketimpangan pendapatan yang juga menyedihkan. Pendapatan kelompok 50% terbawah hanya Rp22,6 juta per tahun pada 2021. Sementara, kelompok 10% teratas memiliki pendapatan sebesar Rp285,07 juta per tahun.
Itu berarti 1 orang dari kelas ekonomi atas memiliki pendapatan 19 kali lipat lebih besar dibanding orang dari ekonomi terbawah. Ketimpangan itu jelas-jelas memalukan karena ketimpangan di Indonesia berarti lebih parah dari ketimpangan di 127 negara lain.
Ketimpangan itu tidak boleh terus terjadi. Kebanggaan naik kelas pendapatan, bahkan ambisi menjadi negara berpenghasilan tinggi, jelas-jelas menjadi bumerang bagi penduduk kelas bawah. Merekalah yang akan terus dalam lingkaran setan naiknya biaya hidup.
Sebab itu ketimbang jemawa dengan status UMIC, pemerintah harus lebih serius memperkecil jurang ketimpangan. Salah satunya adalah lewat perbaikan capaian indeks pembangunan manusia, khususnya soal angka partisipasi sekolah. Sudah menjadi rumusan dunia, bahwa pendidikan dan kesehatan, adalah modal utama untuk perbaikan kualitas penduduk, yang pada akhirnya juga peningkatan ekonomi nasional.
Namun berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka tidak bersekolah usia 13-15 tahun dan usia 16 – 18 tahun justru naik. Sejurus dengan itu, angka melanjutkan/ transisi ke SMP/ sederajat, dan angka melanjutkan/ transisi ke SM/ sederajat, justru turun. Itu artinya semakin banyak anak yang putus sekolah.
Tanpa pendidikan maka angkatan kerja yang kita miliki hanyalah angkatan kerja tanpa keahlian. Di era teknologi robotik dan kecerdasan artifisial, kita selamanya akan menjadi negara pesuruh atau sekedar pemasok Sumber Daya Alam. Segala prestise status ekonomi nasional hanyalah ilusi manis yang dinikmati segelintir orang.