Violinis Jerman berdarah Indonesia Iskandar Widjaja baru saja menggelar konser di Tanah Air. Konser tungalnya bertajuk ‘The Classical Recital: Place Classics and Indonesian Favourites’ pada Sabtu, 19 April 2025 dan dihelat di Usmar Ismail Hall Jakarta.
Sebelum sesi wawancara eksklusif bersama Showbiz, Iskandar melantunkan lagunya yang berjudul Lacrimae. Lacrimae dalam bahasa latin bermakna air mata. Jason Sambouw dari Showbiz, Metro TV menggali jejak inspirasi karya klasik Iskandar Widjaja tersebut.
Lacrimae itu lagu tentang apa, apa makna di baliknya?
Iskandar Widjaja (IW): Lacrimae dari bahasa latin yang berarti air mata. Itu adalah lagi original saya yang memiliki lima bahasa di dalamnya yaitu Latin, Perancis, Inggris, Jerman, dan Bahasa Indonesia.
Mengapa Anda begitu tertarik dengan dunia musik klasik dan permainan violin?
(IW): Kakek saya yaitu Udin Widjaja di zaman Soekarno mempelajari musik secara otodidak. Dia belajar piano dan menjadi konduktor musik di Istana. Semua anaknya belajar musik klasik barat.
Lalu ibu saya belajar piano di Jerman, paman saya menjadi konduktor orchestra, tante saya jadi penari ballet. Saya rasa musik klasik masuk ke dalam darah saya dari keluarga. Saya juga tertarik belajar musik dari saya kecil, umur empat.
Anda juga menjalani pendidikan musik di Jerman sedari kecil. Bagaimana Anda menjalaninya?
(IW): Umur 11 tahun saya diterima di College of Music Berlin melalui program extraordinary students untuk anak di bawah 18 tahun bisa langsung belajar dengan profesor musik di Jerman. Itu adalah program yang sangat bergengsi.
Saya belajar dari usia 11-18 tahun sebagai
extraordinary student, baru saya masuk sebagai
full student di kuliah.
Iskandar Widjaja banyak sekali menggelar konser, namun ternyata Anda juga suka membawakan lagu klasik Indonesia. Apa yang membuat Anda ingin menampilkan itu di penampilan internasional?
(IW): Saya pikir lagu-lagu Indonesia sangat melankolis. Sangat emosional. Itu cocok banget dengan alat musik biola. Karena biasanya permainan biola terkesan sedih, melankonis, intim, sangat personal. Karena itu menurut saya lagu-lagu klasik Indonesia sangat cocok dengan biola dan saya juga bangga bisa menampilkan lagu Indonesia di panggung internasional.
Sebagai contoh, bulan lalu saya tampil di Spanyol dan saya tampilkan lagu Indonesia. Setelah itu saya tampilkan juga di New York. Bagaikan sidik jari konser saya.
Dari sekian banyak konser di berbagai negara, konser mana yang paling berkesan di hati?
(IW): Itu sulit, tergantung mood, hari, penonton, banyak faktor. Mungkin saya ingat waktu debut pertama kali tampil di Berlin, Filamonic Hall, penampilan itu sangat penting karena saya tampil di tempat lahir saya, Berlin, saya orang Jerman.
Rasanya tampil di panggung sebesar itu saya merasa gugup sekali.
Meskipun Anda orang Jerman, namun Anda mampu membawakan lagu-lagu Indonesia begitu dalam dan menghayati. Ketika menampilkannya di skena internasional, bagaimana respons mereka?
(IW): Oh, kamu tidak akan percaya. 2022 lalu saat saya tampil di Spanyol dalam Concerto Nusantara, Sultan Hamengkubuwana X berpesan untuk saya menampilkan lagu Indonesia seperti Bungong Jeumpa, Dayuang Palinggam, Cik Cik Periuk dan lainnya. Setelah saya memainkan lagu itu semuanya berdiri! Tepuk tangan sangat keras! ‘Bravo!’ kata mereka.
Di benak saya, oke, kalian suka musik Indonesia?
That’s cool! Aku suka membawakan lagu Indonesia karena itu spesial, tidak biasa di dunia klasik. Tapi saya juga suka musik Bach dari zaman Barok, sangat murni dan ada keseimbangan antara emosi dan intelektualitas musik.