Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai larangan penjualan pakaian bekas impor (thrifting) telah menimbulkan keresahan mendalam di kalangan pedagang.
Para pedagang pakaian bekas terbesar di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menyatakan penolakan terhadap kebijakan tersebut karena mengancam mata pencaharian mereka yang telah bergantung pada bisnis ini selama puluhan tahun.
Kekhawatiran para pedagang Polewali Mandar ini mencerminkan situasi serupa yang dialami pedagang thrifting di berbagai daerah di Indonesia. Mereka merasa kebijakan larangan tanpa adanya solusi konkret dapat mematikan usaha kecil yang telah menjadi sumber penghidupan utama keluarga.
Meskipun menyatakan siap mematuhi aturan pemerintah jika larangan impor benar-benar diberlakukan, para pedagang ini meminta penjelasan pemerintah soal alasan pelarangan impor pakaian bekas juga memberikan solusi bagi mereka.
"Ya harus berikan solusi ya. Kalau misalnya dilarang berikanlah kepada masyarakat apa solusinya biar kita juga tetap bisa mencari penghidupan," ujar Akbar, salah seorang perwakilan pedagang.
Isu larangan thrifting memang menjadi polemik. Di satu sisi, pemerintah bertujuan melindungi industri tekstil dalam negeri dari gempuran barang impor. Di sisi lain, bisnis pakaian bekas telah menjadi mata pencaharian bagi banyak pedagang kecil dan solusi pakaian terjangkau bagi masyarakat luas.
Kendati demikian, selama aturan baru belum terbit, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tetap melakukan pengawasan di lapangan, terutama di pelabuhan-pelabuhan yang menjadi pintu masuk barang impor. Penindakan ini dilakukan agar pakaian bekas impor tidak mematikan usaha pakaian lokal. Beberapa waktu terakhir, Indonesia memang dibanjiri pakaian bekas dari luar negeri seiring dengan maraknya thrifting.