Zein Zahiratul Fauziyyah • 19 November 2025 10:08
Jakarta: Insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta pada Jumat, 7 November 2025, menjadi salah satu peristiwa yang memicu perhatian publik secara nasional. Kejadian ini bukan hanya menyoroti aspek keamanan sekolah, tetapi juga membuka fakta penting tentang kesehatan mental remaja, perundungan, serta paparan konten digital berisiko.
Kronologi Kejadian
Ledakan terjadi sekitar pukul 12.15 WIB, bertepatan dengan kegiatan salat Jumat di lingkungan sekolah. Dentuman pertama terdengar dari musala lantai tiga, disusul ledakan kedua di area belakang kantin. Suara keras memicu kepanikan dan membuat ratusan siswa serta guru berlarian menyelamatkan diri.
Sebanyak 96 orang mengalami luka-luka dan dilarikan ke sejumlah rumah sakit di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. Tingginya jumlah korban menunjukkan bahwa insiden ini memiliki dampak luas terhadap seluruh unsur sekolah.
Pelaku Berusia 17 Tahun
Polisi menetapkan pelaku sebagai seorang siswa kelas XI berusia 17 tahun. Karena masih di bawah umur, ia berstatus anak berhadapan dengan hukum. Hasil pemeriksaan Densus 88 juga menegaskan bahwa tindakan ini bukan bagian dari jaringan terorisme, melainkan aksi individual.
Namun penyelidikan mengungkap temuan signifikan, pelaku menyiapkan tujuh
bom rakitan, di mana empat sudah meledak dan tiga ditemukan aktif. Di kamarnya, polisi juga menemukan pistol mainan dengan nama beberapa pelaku penembakan masjid di luar negeri. Temuan ini mengindikasikan adanya ketertarikan terhadap figur kekerasan yang tersebar di ruang digital.
Motif Awal: Tekanan Emosional dan Paparan Konten Kekerasan
Pemeriksaan awal menyebutkan dugaan bahwa pelaku mengalami sejumlah tekanan psikologis. Ia disebut sering merasa tidak diterima, jarang memiliki tempat bercerita, dan diduga mengalami perundungan di lingkungan sekitarnya.
Faktor ini diperburuk dengan paparan konten digital ekstrem yang mempromosikan
kekerasan. Platform digital yang tidak terawasi, algoritma rekomendasi konten, serta forum tertutup dapat mendorong remaja mengonsumsi narasi yang tidak sehat tanpa pendampingan.
Pakar keamanan dan psikologi menilai karakteristik kasus ini sulit diprediksi karena tidak muncul dalam pola jaringan atau ideologi tertentu, tetapi berangkat dari dinamika psikologis personal.
Krisis Remaja Jadi Tantangan yang Semakin Kompleks
Peristiwa ini kembali menyoroti
persoalan fundamental dalam perkembangan remaja di Indonesia. Pakar psikologi anak, BNPT, hingga pemerhati pendidikan menyebut beberapa faktor yang semakin menonjol dalam beberapa tahun terakhir, di antaranya:
- meningkatnya rasa kesepian dan isolasi sosial,
- tekanan akademik dan sosial di sekolah,
- kasus perundungan yang tidak tertangani,
- minimnya layanan konseling efektif,
- literasi digital yang lemah,
- kurangnya keterlibatan orang tua dalam kehidupan digital anak.
Respons pemerintah sempat muncul melalui wacana pembatasan game tembak-tembakan. Namun sejumlah ahli menilai langkah tersebut belum menyentuh akar persoalan. Tantangan
kesehatan mental remaja dinilai lebih terkait pada pola asuh, dinamika sekolah, dan kurangnya dukungan psikologis jangka panjang.
Sekolah dan Lingkungan Belajar yang Belum Sepenuhnya Aman
Permendikbud mengenai pencegahan
kekerasan di sekolah sebenarnya sudah ada, tetapi implementasinya dinilai belum merata. Mekanisme pelaporan yang tidak efektif, kurangnya pelatihan guru mengenai kesehatan mental, serta tidak adanya sistem deteksi dini membuat berbagai gejala kerentanan siswa sulit teridentifikasi lebih awal.
Tragedi ini menegaskan pentingnya sekolah berfungsi sebagai lingkungan yang aman secara fisik maupun psikologis, bukan hanya tempat belajar akademik. Di era digital, keamanan lingkungan belajar juga mencakup pengawasan konten yang dikonsumsi siswa dan kemampuan sekolah merespons perubahan perilaku secara cepat.
Sobat MTVN Lens, tragedi SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bahwa isu kesehatan mental remaja, perundungan, dan paparan konten digital berisiko bukan lagi perkara kecil. Kejadian ini menunjukkan perlunya:
- sistem konseling yang lebih kuat,
- edukasi literasi digital,
- pendampingan psikologis yang terukur,
- lingkungan sekolah yang responsif terhadap tanda-tanda kerentanan siswa,
- serta komunikasi yang lebih terbuka antara keluarga, sekolah, dan siswa.
Pendekatan komprehensif lintas sektor menjadi kunci untuk mencegah kejadian serupa dan memastikan remaja tumbuh dalam lingkungan yang aman serta mendukung perkembangan mereka.
Jangan lupa saksikan
MTVN Lens lainnya hanya di Metrotvnews.com.