29 September 2025 23:22
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali mengalami dualisme kepengurusan setelah Muktamar ke-10 di Ancol, Jakarta, menghasilkan dua ketua umum. Muktamar yang digelar sejak 27 September diwarnai kericuhan, adu jotos, dan pelemparan kursi, dipicu oleh protes peserta yang menuntut pergantian pimpinan sidang.
Di tengah situasi yang memanas, kubu Plt Ketua Umum saat itu, Muhammad Mardiono, mengklaim terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP periode 2025-2030. Setelah itu, Mardiono dan rombongannya meninggalkan lokasi muktamar.
Namun, forum muktamar yang ditinggalkan ternyata masih berlanjut dan secara aklamasi memilih Agus Suparmanto sebagai Ketua Umum PPP periode 2025-2030. Agus pun mengajak semua pihak, termasuk kubu Mardiono, untuk kembali bersatu membangun PPP.
Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Romahurmuziy, menyatakan bahwa Agus Suparmanto adalah ketua umum yang sah. Ia menyindir proses pemilihan Mardiono yang disebutnya terjadi di sebuah kamar hotel.
"Saya perlu menyampaikan bahwa ini bukan muktamar, tetapi 'mau ngamar'," ujarnya.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemerintah akan bersikap netral dan tidak akan memihak kubu mana pun. Pemerintah baru akan mengesahkan kepengurusan setelah adanya putusan hukum yang berkekuatan tetap.
"Pemerintah tidak akan memihak pada salah satu kelompok. Dipersilakan kepada kedua kubu untuk menyelesaikan persoalan internal ini secara musyawarah, melalui mahkamah partai, atau melalui pengadilan," ujar Yusril.
Sejarah Panjang Perpecahan
Situasi ini memperpanjang sejarah dualisme di partai berlambang Kakbah tersebut. Perpecahan beruntun sejak 2014 dinilai telah membuat PPP mengalami penurunan suara, hingga puncaknya gagal lolos ke DPR pada Pemilu 2024.
Pengamat politik Adi Prayitno menyayangkan kejadian ini. Menurutnya, muktamar seharusnya menjadi ajang konsolidasi untuk menghadapi Pemilu 2029, bukan justru melanjutkan perpecahan.
"Cukup disayangkan sebenarnya adanya dualisme semacam ini. Karena apa pun judulnya, dualisme itu dalam banyak hal cukup merugikan. Yang menang jadi arang, yang kalah pun juga jadi abu. Jadi tidak ada yang diuntungkan dalam konflik politik semacam ini," jelasnya.