Bedah Editorial MI: Kepercayaan Mahfud Kian Menciut

1 February 2024 08:41

Presiden Joko Widodo mengumumkan dirinya selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan boleh berkampanye dan berpihak dalam Pemilu 2024. Rabu sepekan kemudian (31/1), Menko Polhukam Mahfud MD mengumumkan dirinya mundur dari kabinet. Butuh waktu sepekan bagi Mahfud untuk mengartikulasikan antara ucapan dan realitas dalam tindakan Presiden tersebut.

Jika Presiden sudah tiba di Jakarta hari ini, Mahfud rencananya akan menyerahkan surat pengunduran dirinya itu langsung ke tangan Presiden. "Ketika datang dengan penuh penghormatan, maka pergi juga harus dengan penuh penghormatan," kata Mahfud yang telah mengemban jabatan Menko Polhukam 4,5 tahun lamanya.

Meski rencana pengunduran dirinya itu sudah dalam beberapa hari ini disampaikannya ke muka publik, benak masyarakat tetap saja masih dipenuhi tanda tanya. Ada apa ini? Presiden Jokowi yang diharapkan bisa mengakhiri masa jabatan dua periodenya dengan pada Oktober nanti, kenapa harus menghadapi kenyataan ada menterinya yang mundur?

Pertanyaan itu tentu tidak perlu dijawab oleh mereka karena publik sudah bisa menerka sendiri jawabannya, yaknk sudah tidak ada lagi, atau setidaknya kian merosot, rasa percaya di antara mereka. Padahal, kepercayaan adalah modal dasar kerja sama antara seorang presiden dan menterinya. Jadi, apa lagi yang perlu dikerjakan bersama jika sudah tak ada lagi saling percaya?

Hilangnya rasa kepercayaan di antara mereka itu tidak bisa dianggap sepele. Sebagai pembantu presiden, menteri adalah segelintir dari jutaan orang yang bisa dipercaya presiden untuk membantunya, termasuk menjaga rahasianya.

Jika Mahfud sebagai orang kepercayaan selama 4,5 tahun saja sudah kehilangan kepercayaan pada Presiden, bagaimana publik masih bisa menaruh kepercayaan pada pimpinan negeri ini untuk membawa bangsa ini menuju pada kegemilangan? Mungkin kepercayaan publik tetap ada, tapi kadarnya kian jauh berkurang. 

Sejauh ini, masyarakat puas terhadap kinerja Jokowi terutama karena guyuran bansos. Program itu berbanding lurus dengan tingkat kepuasan,  mengalahkan pembangunan infrastruktur yang digenjot habis-habisan selama sembilan tahun terakhir. Dengan rupa-rupa bantuan itu, sosok Jokowi dipersepsikan merakyat, setidaknya itulah yang terekam dari hasil survei Indikator Politik dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Desember lalu.

Berlatar belakang akademisi hukum dan lima tahun lamanya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pada 2008-2013, Mahfud tentu telah memperhitungkan dengan cermat keputusan mundurnya itu. Pengalaman menjaga tegaknya konstitusi dan etika bertata negara itu membekali Mahfud bisa menangkap dengan jernih apa yang dimaksud Jokowi bahwa presiden boleh berkampanye dan berpihak, baik dari bentuk ucapan maupun tindakan.

Dari sisi ketatanegaraan, Mahfud tentu menangkap ucapan dan tindakan Presiden itu berbahaya bagi tegaknya konstitusi. Presiden yang masih terikat sumpah jabatan akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya, selurus-lurusnya, seadil-adilnya telah memilih hendak berpihak. Hal itu bertolak belakang dengan perintah konstitusi yang tertuang di Pasal 9 UUD 1945.

Dari sisi politik, ucapan dan tindakan Presiden itu  juga berbahaya bagi rencana Mahfud yang pada pemilu ini mendampingi Ganjar Pranowo sebagai calon wakil presiden. Ucapan Presiden itu justru memberi angin segar kepada lawan politiknya.

Apalagi sejak awal Januari 2024, Presiden rajin blusukan ke daerah, bahkan hingga pelosok di Pulau Jawa. Sembari meresmikan proyek infrastruktur kelas kabupaten, Presiden menyapa rakyat dengan bagi-bagi bansos.

Semakin sulit bagi publik untuk mengartikan bagi-bagi bansos oleh Presiden itu, apakah sebagai Kepala Pemerintahan yang hadir di tengah kesulitan ekonomi rakyatnya, atau Kepala Negara yang berpihak dalam pemilu, atau boleh jadi keduanya karena mumpung masih berkuasa.

Kita tentu berharap mundurnya Mahfud MD sembari menyeru soal pentingnya etika itu bisa mengirim sinyal tegas kepada Presiden Jokowi, bahwa kekuasaan bukan segala-galanya. Jika pengunduran itu disampaikan secara tulus sebagai bentuk tanggung jawab moral, setidaknya bisa menjadi pengingat kepada Presiden bahwa di tingkat pembantunya saja, tanggung jawab moral dipegang erat-erat, apalagi di level pucuk pimpinan tertinggi bangsa ini.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)