Stunting vs Gizi Buruk Anak, Ini Bedanya

24 July 2024 17:02

Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah gizi yang cukup kompleks. Kondisi kekurangan gizi kronis seperti stunting berpotensi diperparah dengan hidden hunger akibat kekurangan gizi mikro yaitu vitamin dan mineral pada kelompok beresiko. Gizi buruk ini juga merupakan pemicu atau faktor awal dari stunting.

Beda Gizi Buruk dengan Stunting


Stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak. Stunting juga menjadi salah satu penyebab tinggi badan anak terhambat, sehingga lebih rendah dibandingkan anak-anak seusianya.

Sementara itu gizi buruk adalah masalah gizi yang terjadi akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu singkat sehingga mengakibatkan pertumbuhan anak berhenti sebelum waktunya. Selain itu anak penderita gizi buruk biasanya mudah mengalami infeksi.

Dampak Stunting pada IQ dan Perkembangan Anak

  • Berbahaya pada perkembangan otak anak
  • Defisit perilaku dan kognitif
  • Keterlambatan dalam perkembangan bahasa dan motorik halus
  • IQ rendah
  • Performa akademik buruk

Data Stunting dan Gizi Buruk di Indonesia


Sebanyak 5,8 juta balita di Indonesia diketahui mengalami masalah gizi. Data ini didapat dari hasil pengukuran dan intervensi serentak pencegahan stunting kepada 15,5 juta balita (90,75 persen) per 1 Juli 2024. 

Sementara itu berdasarkan survei dari Kementerian Kesehatan di 2022, satu dari 12 anak balita itu mengalami wasting (gizi buruk). Sementara itu satu dari lima anak balita itu menderita stunting.

Target Pemerintah untuk Stunting


Pemerintah menargetkan pada 2024 prevalensi stunting atau tengkes turun menjadi 14%. Jika berpijak pada angka stunting.

Untuk mencapai hasil ini, pemerintah menggelar program makan gratis. Namun program ini perlu memperhatikan beberapa hal. Di antaranya skala prioritas berdasarkan daerah atau usia rawan stunting, skema pelaksanaannya hingga standarisasi gizi, kebersihan dan manejemennya.

Sebenarnya sudah banyak program pemerintah yang dijalankan demi menuntaskan permasalahan yang menyebabkan adanya stunting di antaranya ialah pemberian ASI. Kemenkes terus berupaya untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-5 bulan. 

Adapun, pada periode 2020-2022, pemberian ASI eksklusif menunjukkan tren yang meningkat. Namun, capaian indikator ini masih perlu terus ditingkatkan dan diperhatikan pemerataannya.

Selain itu, anak umur 6-32 bulan yang mengonsumsi lima dari delapan kelompok makanan selama sehari baru 58,04 persen. Hal tersebut menandakan bahwa masih banyak balita yang kurang gizi.

Kondisi wasting meningkatkan risiko tiga kali lipat anak menjadi stunting apabila tidak ditangani dengan baik, dan bisa berujung pada kematian. Lalu untuk tingkat kematian dan kesakitan anak dengan gizi buruk lebih tinggi 11 kali dibandingkan anak dengan gizi baik.

Tidak hanya itu, stunting pada usia 24 bulan juga memiliki hubungan signifikan dengan kemampuan kognitif anak pada saat berusia 8 tahun, 9 tahun dan 11 tahun. Serta, risiko tidak naik kelas atau risiko putus sekolah.
 
Baca: 

Bedah Editorial MI: Utak-atik Anggaran Makanan Bergizi


Intinya ada banyak sekali faktor yang perlu diperhatikan dalam mengatasi stunting di Indonesia, sehingga tidak bisa jika hanya mengandalkan program makan siang dan susu gratis untuk siswa sekolah dan ibu hamil.

Oleh karena itu penanganan stunting maupun gizi buruk harus ditambah dengan menjamin kesehatan ibu hamil dengan pemenuhan gizi, mengatasi komplikasi kehamilan, pemenuhan gizi balita, deteksi dini masalah gizi pada balita serta tatalaksanan balita bermasalah gizi.

Selain itu, menetapkan standar emas pemberian makan pada balita 0-23 bulan, yakni inisiasi menyusui dini, ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dan melanjutkan ASI sampai 2 tahun. Serta tak kalah penting emerlukan kolaborasi yang masif dengan banyak pihak.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggie Meidyana)