15 December 2025 21:54
Jakarta: Bencana banjir dan longsor yang memutus akses di wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah tidak hanya menyisakan kerusakan infrastruktur, tetapi juga krisis kebutuhan pokok. Di tengah keterbatasan itu, perjuangan Jurmiati, 38 tahun, menjadi gambaran ketangguhan warga yang saling membantu demi bertahan hidup.
Jurmiati, warga Desa Kutelot, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, terpaksa menempuh perjalanan panjang ke Kota Lhokseumawe untuk menjual cabai. Hasil penjualan itu ia gunakan untuk membeli beras dan bahan bakar minyak (BBM), yang kemudian dibawa kembali ke kampung halamannya untuk membantu keluarga dan tetangga yang terdampak isolasi.
Sebelum bencana, Jurmiati bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Bener Meriah. Namun, terputusnya jalur distribusi akibat banjir dan longsor membuat bahan pokok semakin langka. Dua pekan terakhir, Jurmiati memilih berjualan cabai sebagai satu-satunya cara agar kebutuhan pangan warga tetap terpenuhi.
Pada awal perjalanannya, Jurmiati harus menempuh waktu hingga tiga hari tiga malam untuk mencapai Lhokseumawe. Kini, meski akses mulai terbuka sebagian, ia masih harus melewati jalur sulit. Dari Aceh Tengah, Jurmiati menggunakan sepeda motor hingga kawasan Buntul, Kabupaten Bener Meriah. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sambil memanggul cabai menuju Desa Seni Antara, Kecamatan Permata, sebelum kembali melanjutkan perjalanan menggunakan kendaraan menuju Lhokseumawe.
Di pinggir Jalan Titi Cunda, Kota Lhokseumawe, Jurmiati menjajakan empat jenis cabai dengan harga bervariasi. Cabai panca, cabai merah, dan cabai nano dijual seharga Rp30 ribu per kilogram, sementara cabai caplak dijual Rp50 ribu per kilogram.
“Uang hasil jual cabai ini saya belikan beras dan minyak. Nanti di kampung ditukar lagi dengan cabai milik warga,” ujar Jurmiati.
Ia mengungkapkan, kondisi di Aceh Tengah dan Bener Meriah masih memprihatinkan. Persediaan beras, BBM, dan gas sangat terbatas. Bahkan di beberapa wilayah, warga terpaksa bertahan dengan mengonsumsi pisang dan labu rebus karena ketiadaan bahan pangan.
Apa yang dilakukan Jurmiati bukan semata untuk dirinya sendiri. Ia mengaku hanya ingin saling membantu sesama warga yang terdampak bencana. “Yang penting bisa makan dulu,” ujarnya singkat.
Di tengah keterbatasan dan akses yang belum sepenuhnya pulih, perjuangan Jurmiati menjadi potret solidaritas warga di daerah bencana bahwa di saat negara dan bantuan masih terus bergerak, kepedulian sesama menjadi penopang utama untuk bertahan.
(Farouq Faza Bagjawan Alnanto)