DPR menyoroti langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dianggap kurang mempertimbangkan dampak terhadap distribusi gas subsidi. Kebijakan pemerintah yang sempat melarang pengecer menjual elpiji 3 kilogram (kg) dinilai sebagai keputusan yang diambil secara mendadak tanpa uji coba lapangan. Hal ini menyebabkan kepanikan di masyarakat, yang berujung pada antrean panjang di pangkalan elpiji.
Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto menegaskan elpiji 3 kg merupakan komoditas penting bagi masyarakat kecil dan UMKM, sementara subsidi yang dialokasikan dalam APBN untuk elpiji mencapai Rp87 triliun dari total subsidi energi sebesar Rp203 triliun pada 2025.
"Kita mengibaratkan orang yang biasa beli beras di warung harus ke penggilingan padi. Itu yang terjadi saat pengecer dihilangkan tanpa persiapan," ujar Sugeng seperti dikutip dari
Headline News Metro TV, Selasa 4 Februari 2025.
Dampak dari kebijakan ini menyebabkan masyarakat berbondong ke pangkalan elpiji yang tidak memiliki kapasitas pelayanan optimal, sehingga memicu
panic buying. Meski pasokan elpiji 3 kg sebenarnya tetap ada, kebijakan yang tiba-tiba menghilangkan pengecer tanpa infrastruktur pengganti menciptakan kesan kelangkaan di pasar.
Akibat polemik ini,
pemerintah akhirnya mengoreksi kebijakan tersebut dan mengizinkan kembali pengecer beroperasi dengan status baru sebagai sub-pangkalan. Dengan sistem ini, penjualan elpiji 3 kg akan lebih terkontrol dan hanya diberikan kepada masyarakat tidak mampu serta UMKM yang berhak.
"Kami bersyukur kebijakan ini sudah dikoreksi, sehingga distribusi kembali normal," tambahnya.
Selain membahas distribusi elpiji, DPR juga menyoroti pengelolaan
sumber daya mineral, terutama pertambangan ilegal yang menyebabkan kerugian negara hingga lebih dari Rp1 triliun.
(Zein Zahiratul Fauziyyah)