Di musim penghujan seperti saat ini, untuk menekan risiko bencana hidrometeorologi, pemerintah sering melakukan operasi modifikasi cuaca. Di Indonesia, intervensi ini dikenal sebagai Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).
Tujuannya beragam, mulai dari menambah hujan ketika musim kemarau panjang, mengurangi curah hujan saat banjir mengancam, sampai menekan kabut asap akibat kebakaran hutan. Bahkan, TMC sering dipakai untuk menjaga acara kenegaraan tetap berjalan tanpa diguyur hujan.
Bagaimana Cara Kerja TMC?
Modifikasi cuaca bukanlah menguasai alam, melainkan memanfaatkan peluang ilmiah untuk mengarahkan proses yang sudah terjadi di atmosfer.
- Pemantauan Awan: Pertama, tim cuaca memantau awan menggunakan radar dan satelit. Tidak semua awan bisa dipakai; hanya awan yang cukup tebal dan memiliki banyak uap air yang menjadi target.
- Penyemaian Garam: Jika target awan sudah didapat, pesawat diterbangkan untuk mendekati awan tersebut dan menyebarkan butiran garam halus.
- Proses Hujan: Garam memiliki sifat mudah menarik air (higroskopis). Begitu garam masuk ke dalam awan, uap air akan langsung menempel di permukaannya. Butiran air akan semakin membesar hingga menjadi berat dan akhirnya jatuh ke bumi sebagai hujan.
Dengan perhitungan arah angin, hujan ini bisa diarahkan. Misalnya, sengaja diturunkan di laut agar Jakarta tidak kebanjiran, atau dijatuhkan di waduk supaya airnya cepat terisi.
Biaya Operasi TMC
Mengatur hujan tentu tidak murah. Satu kali operasi penerbangan (sorti) membutuhkan ratusan kilogram, bahkan beberapa ton, garam. Selain itu, diperlukan juga bahan bakar pesawat, serta biaya pilot dan kru.
Menurut BNPB, biaya operasional TMC lewat udara ini bisa mencapai sekitar Rp800 juta per satu kali sorti penyemaian. Semakin besar skala operasi, semakin tinggi pula biaya yang harus disiapkan.
Pada akhirnya, TMC bukanlah cara menguasai alam, melainkan hanya mengoptimalkan peluang yang ada di atmosfer. Ini adalah upaya bekerja sama dengan ilmu pengetahuan agar hujan yang turun membawa manfaat, bukan bencana.