20 February 2024 08:52
Negeri ini telah sepakat memilih demokrasi sebagai jalan politik. Cita-cita besar itu tidak akan mewujud tanpa ikhtiar keras. Apalagi di hari-hari ini, praktik demokrasi banyak dikeluhkan. Banyak anak kandung yang lahir dari rahim demokrasi di republik ini, kini malah berperilaku dan bertindak antidemokrasi.
Maka, tidak mengherankan bila belum lama ini, The Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga riset yang menyusun prakiraan dan rekomendasi melalui penelitian dan analisis, terutama terkait ekonomi dan politik, mengeluarkan laporan mengenai indeks demokrasi 2023 secara global. Dalam laporan bertajuk tersebut, Indonesia menempati pringkat ke 56 dari 200 negara yang disurvei dengan skor 6,53 poin, turun dua poin dari posisi tahun sebelumnya dengan 6,72 poin.
Kondisi itu menjadi tamparan keras di saat rakyat di negeri ini sedang menggelar pemilu. Disebut tamparan keras karena tahun sebelumnya sempat ada kenaikan skor indeks demokrasi, meskipun Indonesia belum lepas dari kondisi cacat demokrasi.
EIU menyusun indeks tersebut berdasarkan lima indikator besar, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil. Hasil penilaiannya kemudian dirumuskan menjadi indeks berskala 0-10. Semakin tinggi skornya, maka kualitas demokrasi suatu negara diasumsikan semakin baik.
Berdasarkan laporan itu, Indonesia digolongkan sebagai negara dengan kategori atau demokrasi cacat. Itu artinya, pelaksanaan demokrasi di Indonesia dianggap belum sempurna. Penilaian EIU ini harus jadi bahan introspeksi terutama bagi pemerintah, apalagi sebelumnya indeks demokrasi Indonesia sempat menyentuh angka 7,03 poin pada 2015 meski belum dapat digolongkan (demokrasi penuh).
Jika melihat pelaksanaan pemilu tahun ini yang karut-marut, bukan tidak mungkin indeks demokrasi Indonesia tahun depan bakal terus merosot. Apalagi, faktanya, secara benderang pemerintah ikut campur tangan dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini, mulai dari pelibatan aparatus dan fasilitas negara, pemanfaatan bantuan sosial, hingga politik uang, belum lagi dugaan manipulasi suara yang kini banyak diributkan.
Sebagai salah satu negara pluralistik yang memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, Indonesia jelas menjadi perhatian dunia Internasional, apalagi secara geopolitik posisinya sangat strategis di kawasan. Pelaksanaan pemilu kali ini akan jadi pertaruhan wibawa bangsa ini di mata dunia.
Sebagai negara yang telah berulangkali menggelar pemilu secara langsung, semestinya pelaksanaan pesta demokrasi di negeri ini semakin baik, bukan malah sebaliknya amburadul. Jika pelaksanaannya saja sudah tidak jujur dan adil, pemerintahan macam apa yang ingin dihasilkan dari pemilu semacam ini? Wajar jika banyak pengamat, termasuk dari luar negeri yang mengkhawatirkan negara ini akan kembali ke era otoritarianisme.
Kita tentu tidak mau semua itu terjadi. Kita tentu tidak ingin reformasi yang telah dengan susah payah diperjuangkan dengan keringat, air mata, dan darah kembali porak-poranda. Kita tentu tidak ingin awan gelap kembali memayungi negeri ini. Semua elemen masyarakat, dari kalangan cendekia hingga rakyat jelata, partai politik, serta pers, harus ikut mengawal proses pemerintahan di negeri ini.
Biar bagaimana pun, demokrasi harus diselamatkan. Dengan demokrasi yang semakin membaik, jalan menuju kemakmuran bisa kian lapang. Sebaliknya, dengan demokrasi yang terus-menerus cacat, jalan kemakmuran bakal menjauh dari kenyataan.
Turunnya indeks demokrasi ialah alarm kencang bahwa negeri ini mesti hati-hati. Perjuangan menyelamatkan demokrasi masih jauh dari kata selesai.