28 June 2023 09:48
Gambar menyejukan beredar dari Mekkah, Arab Saudi, Senin (26/6). Gambar yang menampilkan foto bersama dua bakal calon presiden, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, itu membawa kedamaian dari Tanah Suci, tetapi bisa juga sekadar basa-basi jika tak menjadi spirit dalam kompetisi pilpres nanti.
Dalam foto tersebut, Anies dan Ganjar yang mengenakan pakaian ihram tampak semingrah. Ada pula istri Anies, Fery Farhati, istri Ganjar, Siti Atiqoh Supriyanti, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Mereka berfoto bersama di sebuah ruangan di sela menuaikan ibadah haji.
Foto itu kebanjiran puja puji. Rakyat Indonesia, termasuk para politikus yang berbeda posisi, memberikan apresiasi. Foto itu menguar aroma keadamaian, membuat adem suasana, sekaligus menjadi pengirim pesan akan pentingnya persaudaraan di tengah perbedaan dan persaingan.
Anies adalah bakal capres yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan gabungan Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS. Posisinya berbeda dengan Ganjar yang didukung PDI Perjuangan, PPP, dan Partai Hanura. Ada satu lagi bakal capres yakni Prabowo Subianto.
Dalam konteks kontestasi, Anies dan Ganjar berada di sisi yang berlainan, bahkan berseberangan. Keduanya memiliki banyak pendukung yang sebagian surplus keberpihakan dan kelebihan nafsu untuk menegasikan yang lain.
Karena itulah, foto bersama Anies dan Ganjar dari tanah haram harus kita maknai sebagai penyejuk akan panasnya rivalitas. Keduanya memberikan contoh bahwa berbeda tak mesti saling meniadakan, lain pandangan tak boleh saling bermusuhan. Itulah semangat yang dilayangkan oleh keduanya dengan harapan diikuti oleh para pendukung masing-masing.
Sebagai pesan, foto bersama Anies dan Ganjar sungguh baik. Tapi, pesan itu tak akan pernah sampai jika kedua tokoh, kedua kubu, tak punya kemauan nyata untuk menciptakan kedamaian di lapangan. Pesan apik yang mereka tunjukkan akan percuma jika tak dibarengi upaya nyata untuk memastikan kompetisi berlangsung sehat.
Situasi jelang Pilpres 2024 tidak betul-betul baik. Badan Pengawas Pemilu, misalnya, menyebut hate speech atau ujaran kebencian terutama di media sosial akan terus meningkat. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia bahkan mengungkapkan, penyebaran hoaks atau berita bohong sudah mengalami peningkatan sejak awal tahun ini.
Tak terlalu njlimet sebenarnya untuk menghadapi situasi buruk itu. Ujaran kebencian, hoaks, fitnah, adu domba, marak terutama di media sosial lantaran sepak terjang para buzzer sontoloyo. Celakanya lagi, mereka ada dan terus merajalela karena dipelihara, dibiayai untuk menyerang lawan.
Menertibkan buzzer adalah salah satu solusi ampuh untuk menciptakan kedamaian. Tak lagi menggunakan mereka adalah kiat mujarab untuk meminimalisasi permusuhan.
Tak memberikan panggung buat siapa saja, termasuk kalangan intelektual maupun mereka yang mengaku budayawan, untuk menebar narasi kebencian adalah cara lain agar pertikaian tak meletup-letup. Semua itu bisa dan harus dilakukan oleh para kandidat serta elite-elite pendukungnya dengan syarat ada kemauan.
Percuma para tokoh utama bergandengan tangan lalu memamerkannya lewat foto bersama tetapi akar rumput dibiarkan cakar-cakaran. Jika itu yang terjadi, foto bersama antara Anies dan Ganjar hanya sekadar gambar mati tanpa roh kebaikan.
Ibaratnya, di depan mereka berpelukan dengan satu tangan, tapi tangan yang satunya lagi menghunus belati untuk saling tikam di belakang. Pesan damai yang hendak mereka sampaikan pun terbang bersama angin, tanpa makna, tiada guna.