15 June 2024 12:46
Sudah bolak-balik jatuh, masih tertimpa tangga. Plesetan dari perumpamaan itu kiranya sangat pas menggambarkan nasib kelas menengah di Indonesia saat ini. Mereka harus bolak-balik terpukul karena tidak bisa keluar dari siklus menghadapi musibah dan tantangan perekonomian.
Mereka yang di kelas menengah ini bisa merasakan keriangan dan kepusingan secara bersamaan di kala menerima gaji bulanan. Di satu sisi dapat menarik napas, karena mendapatkan upah hasil bekerja selama sebulan. Di sisi lain, mereka harus menghela napas karena harus menyalurkan upah tersebut untuk memenuhi beragam kebutuhan sehari-hari.
Belum lagi untuk setoran wajib ke beragam iuran seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan potongan pajak penghasilan, yang kemungkinan ke depannya upah kelas menengah akan dipotong lagi 2,5% seiring rencana pemerintah mewajibkan setiap pekerja dengan minimal UMP wajib menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Padahal biaya kebutuhan utama seperti pangan saat ini masih merangkak naik. Ditambah lagi ada isu kelangkaan pangan akibat suhu panas yang terus meningkat dalam 5 tahun ke depan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat konsumsi masyarakat sepanjang 2023 sebesar 4,82% alias turun ketimbang tahun sebelumnya yang mencapai 4,94%. Bahkan BPS mendapati penurunan itu terutama terjadi dikonsumsi masyarakat menengah atas. Hal itu ditunjukkan antara lain lewat berkurangnya penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN barang mewah, jumlah penumpang angkutan udara dan penjualan mobil penumpang.
Jangankan untuk membeli barang, kemampuan masyarakat berkurban di momen Iduladha tahun ini diperkirakan menurun. Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melaporkan melaporkan penurunan kurban terjadi disebabkan oleh sejumlah dampak perlambatan ekonomi. Mulai dari fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga pendapatan kelas menengah bawah mengalami stagnansi bahkan penurunan.
Baca juga:
Bedah Editorial MI: Rencana Pembangunan ala Kadarnya |