Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 sepekan lagi digelar di Bali. Berbagai persiapan terus dimatangkan, mulai pengamanan, akomodasi, transportasi, hingga kegiatan-kegiatan pendukung lainnya. Sejumlah ministerial meeting untuk menyongsong perhelatan tersebut digelar. 'Pulau Dewata' pun terus bersolek untuk menyongsong para peserta KTT G-20.
Tiga agenda yang akan dibahas dalam KTT yang mengambil tema Recover together, recover stronger ialah arsitektur kesehatan global, tranformasi digital, dan transisi energi. Indonesia menerima Presidensi G-20 dari Italia yang menjabat pada 2021.
Presidensi G-20 untuk Indonesia tak mudah di tengah kondisi global yang sedang muram. Pukulan demi pukulan mengguncang ekonomi global. Mulai pandemi covid-19 hingga perang Rusia-Ukraina yang membuat kondisi ekonomi semakin babak belur. Dampak perang Rusia-Ukraina tak hanya soal ekonomi, tetapi juga sosial dan tragedi kemanusiaan yang notabene sesama anggota G-20.
Secara politik, perang Rusia-Ukraina melahirkan blok kekuatan di antara negara-negara yang tergabung Pakta Pertahanan Atlantik Utara, atau NATO, yang di dalamnya ada Amerika Serikat, 29 negara Eropa, dan 1 negara Eurasia. NATO mendukung Ukraina menghadapi Rusia. Sudah 10 bulan perang belum ada tanda-tanda berakhir, bahkan kedua pihak Ukraina yang dibantu NATO dan Rusia saling melancarkan serangan yang mematikan. Sangat mencemaskan.
Kondisi perang tersebut melahirkan kondisi yang tidak begitu kondusif bagi penyelenggaraan KTT G-20 meski sejauh ini sejumlah negara yang terlibat dalam perang tersebut menyatakan kesiapan mereka untuk hadir.
Dampak perang Rusia-Ukraina dirasakan Indonesia. Anggaran pendapatan dan belanja negara terbebani dengan harga minyak bumi yang meroket sejak invasi Rusia ke Ukraina. Indonesia juga merasakan hantaman kenaikan harga-harga komoditas yang diimpor dari Rusia dan Ukraina, seperti gandum, jagung, dan kedelai.
Sebanyak 78 ribu karyawan garmen di Jawa Barat mengalami pemutusan hubungan kerja akibat inflasi, kenaikan biaya logistik, dan anjloknya pesanan garmen. Secara global rantai pasok pangan dan gas mengalami guncangan dahsyat serta inflasi pun melambung akibat konfrontasi geopolitik yang mengerikan.
Dengan menyadari dampak yang ditimbulkan perang terbesar sejak Perang Dunia II itu, Presiden Joko Widodo menyambangi Ukraina dan Rusia pada Juli silam. Meski belum terbukti efektif menghentikan perang, kunjungan Jokowi yang menemui Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan sikap kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif dan komitmen menjaga perdamaian dan ketertiban dunia sesuai dengan konstitusi UUD 1945.
Secara ekonomi, KTT G-20 bagi Indonesia jelas menguntungkan. KTT G-20 diprediksi memberikan kontribusi sekitar Rp7,4 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB), termasuk peningkatan konsumsi domestik hingga Rp1,7 triliun. Sebanyak 33 ribu pekerja terserap dalam perhelatan main dan side event KTT G-20.
Namun, dampak ekonomi bagi Indonesia saja tidak cukup. Yang utama ialah tercapainya kesepakatan dalam KTT G-20. Di tengah kekuatan besar yang bersitegang, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, dan beberapa negara yang terkait dengan perang Rusia-Ukraina, peran Indonesia sebagai sahibulhajat tidak mudah.
Indonesia ditantang menjaga soliditas sesama anggota G-20 untuk saling menghormati, membuang egosentris, untuk menciptakan kesepakatan KTT G-20 agar bermanfaat bagi anggota dan dunia yang kini tengah murung.
Semoga KTT G-20 mencapai kesepakatan dengan semangat Recover together, recover stronger. Kesepakatan itu akan menepis prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa masa depan ekonomi dunia akan menghadapikegelapan akibat pandemi covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan bencana iklim.
Kesuksesan KTT G-20 yang digelar di Bali pada 15-16 November 2022 harus mencakup sukses pelaksanaannya dan sukses atas kesepakatan yang dihasilkan di forum tersebut. Indonesia pasti bisa!