Bedah Editorial MI: Lorong Gelap Obat Sirop Maut

30 September 2023 10:00

Lewat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Presiden Joko Widodo telah menyetujui pemberian bantuan untuk korban korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). 

Menurut Muhadjir, pemberian bantuan atau santunan dari pemerintah itu sebagai bentuk kehadiran dan kepedulian negara dalam kasus itu.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan pada 26 September 2023, jumlah korban GGAPA keseluruhan mencapai 326 anak, baik yang telah dapat disembuhkan maupun yang telah meninggal dunia. Korban GGAPA tersebar di 27 Provinsi dengan kasus tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta.

Bagi ratusan orang tua yang anaknya telah menjadi korban, santunan itu jelas bukan jawaban dari pertanyaan mereka selama ini. Pertanyaan mereka masih sama dari setahun lalu, siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum atas kemalangan yang menimpa anak mereka?

Mereka tetap menanti negara menegakkan keadilan, bukan semata santunan uang tunai dengan dalih tanggung jawab kemanusiaan. 

Apalagi kasus itu sudah bergulir sejak akhir 2022 lalu. Sebagai catatan, pada Januari 2023, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan total empat tersangka perorangan dan lima tersangka korporasi dalam kasus tersebut. Para tersangka dijerat UU No 36/2009 tentang Kesehatan dan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut hasil pemeriksaan yang dilakukan, penyebab kasus GGAPA diduga karena mengalami keracunan senyawa EG atau etilen glikol dan DEG atau dietilen glikol yang biasa dipakai sebagai pelarut dalam obat cair atau sirop.

EG/DEG merupakan senyawa yang strukturnya sederhana, tapi memiliki tingkat toksisitas tinggi. Hal itu telah diatur dalam European Food Safety Agency (EFSA) maupun Food and Drug Administration (FDA) dan telah dimasukkan daftar toxic substances, sehingga terlarang penggunaannya di Indonesia.

Dari situ, kasusnya sebenarnya sudah terang benderang. Tak ada yang rumit, pelaku dan alat bukti sudah terpampang jelas semua, tinggal itikad menegakkan keadilan yang dibutuhkan sekarang. Namun hingga saat ini, belum ada satu pun putusan pengadilan.

Di sini seharusnya negara menunjukkan eksistensinya, memberi rasa keadilan kepada masyarakat, bukan pemberian santunan uang tunai. Apalagi dalam kasus itu, terang benderang juga kelalaian negara dalam memberi rasa aman kepada warganya.

Bagaimana bisa obat beracun dengan mudah diproduksi dan beredar luas di masyarakat? Apa kerja para institusi negara selama ini, seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian?

Ingat, KUHP Pasal 359 dan 360 bisa menjerat pihak-pihak yang lalai hingga menyebabkan kematian orang lain. Bahkan jika ada unsur kesengajaan, pihak yang terbukti harus dipidanakan dengan Pasal 338 dan 340.

Bisa beredarnya obat beracun itu sudah jelas jadi bukti adanya kelalaian negara. Kalau negara sudah memberi izin edar, tentu konsumen percaya bahwa negara sudah menyatakan obat itu aman dikonsumsi.

Di situ seharusnya negara hadir dalam melindungi warganya. Karena sudah bisa dipastikan, masyarakat selaku konsumen hanya memiliki pengetahuan yang awam soal kefarmasian.

Jika dikaitkan dengan pernyataan Menko PMK Muhadjir Effendy di awal tadi, jelas sekali masyarakat membutuhkan kehadiran substantif, bukan kehadiran santunan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Sofia Zakiah)