24 July 2023 09:46
Hilirisasi hasil tambang jelas diharapkan mampu memberikan nilai tambah dan penciptaan lapangan kerja yang akan menopang peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal yang semestinya terwujud dalam kebijakan hilirasi nikel yang diklaim pemerintah sukses.
Yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang memaparkan bahwa nilai ekspor produk nikel hasil hilirisisasi telah mencapai USD33,81 miliar atau Rp504,2 triliun pada tahun 2022.
Angka tersebut lebih besar 745?ri nilai ekspor pada 2017, ketika Indonesia hanya mengekspor bahan mentah berupa bijih nikel. Nilai ekspor nikel pada 2017 hanya sekitar USD4 miliar. Jelas sebuah kenaikan fantastis, yang harapannya tentu akan mendongkrak kesejahteraan penduduk.
Tahun ini, sampai pada April 2023, realisasi nilai ekspor nikel hasil hilirisasi sudah mencapai USD11 miliar atau Rp165 triliun. Dengan raihan tersebut, ekspor hasil hilirisasi nikel diproyeksikan tahun ini juga akan naik.
Progresifnya hilirasi juga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di sentra hilirisasi nikel di Sulawesi dan Maluku. Sulawesi dan Maluku adalah dua wilayah di Indonesia yang kaya akan cadangan nikel.
Di Sulawesi, beberapa wilayah yang dikenal memiliki cadangan nikel adalah Morowali, Konawe, dan Kolaka. Di Maluku, pulau Halmahera adalah salah satu wilayah yang memiliki cadangan nikel yang signifikan.
Sejumlah perusahaan besar, baik dari dalam maupun luar negeri, telah berinvestasi dalam industri pertambangan nikel di dua wilayah ini untuk memanfaatkan sumber daya alamnya.
Perekonomian Sulawesi tumbuh 7% secara tahunan pada triwulan I-2023, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I-2022 yang sebesar 5,52%. Pertumbuhan ekonomi Maluku juga mengalami kenaikan sebesar 5,12%
Besarnya nilai ekonomi hilirisasi dengan memberikan nilai tambah komoditas harusnya berbanding lurus dengan peningkatan perekonomian serta peningkatan kesejahteraan suatu wilayah beserta masyarakat di wilayah itu.
Faktanya, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, rasio penduduk miskin di Pulau Sulawesi justru naik, dari 10,02% pada Maret 2022 menjadi 10,08% pada Maret 2023. Sementara Maluku rasio penduduk miskinnya pada Maret 2023 naik, menjadi sebesar 16,42%.
Artinya, hilirisasi nikel ini tidak menetes hingga ke bawah. Ibarat air, nilai tambah produk tambang ini sepertinya ada yang menampung dengan tandon besar, namun tidak mengalir ke saluran irigasi sebagai perumpamaan pemerataan kesejahteraan.
Kebijakan hilirisasi nikel hingga saat ini belum memberikan efek berganda ke masyarakat. Hilirasi belum inklusif untuk menaikkan kesejahteraan warga di wilayah sentra nikel, seperti Sulawesi dan Maluku.
Untuk itulah, pemerintah perlu menyusun kebijakan lanjutan, demi pemerataan pertumbuhan ekonomi yang dipacu hilirasi hasil tambang. Karena hilirisasi tidak hanya sampai pada membangun smelter saja, tapi melahirkan barang baru. Ada industri ikutan yang lahir untuk jangka menengah dan panjang.
Agar pertumbuhan ekonomi tinggi tidak hanya di atas kertas, tidak boleh hanya angka-angka yang hanya dinikmati segelintir pemilik modal saja, namun juga harus bisa dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
Ditengah laju hilirisasi nikel dan sumber daya alam lainnya yang harus dipikirkan secara cermat adalah dampak kerusakan lingkungan. Bila kerusakan lingkungan dibiarkan akan merusak mata pencaharian penduduk lokal, seperti pertanian dan kelautan, sementara hilirisasi industri lebih ke padat teknologi bukan padat karya. Walhasil sangat sedikit sumber daya manusia lokal yang terserap dalam dunia kerja.
Pastikan hilirasi nikel bukan fatamorgana untuk meningkatkan taraf hidup warga di sekitar wilayah pertambangan. Keseimbangan lingkungan tetap harus terjaga.
Di sisi lain pendapatan sektor pajak dari hilirisasi nikel untuk daerah harus benar-benar dirasakan oleh penduduk lokal. Jangan menguap, lenyap tanpa jejak begitu saja. Kemiskinan harus diberantas sampai ke akar-akarnya sehingga pembangunan memiliki makna yang hakiki. Pembangunan bukan jargon politik untuk sekedar mendulang suara dalam Pemilu.