14 August 2025 08:47
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres. Bercanda juga diyakini dapat mempererat hubungan sosial.
Namun, apa jadinya kalau bercanda dilakukan dengan cara yang tidak tepat? Jika dilakukan oleh seorang pejabat, apalagi sekelas menteri, untuk urusan yang amat penting, candaan bisa menuai polemik dan bikin resah masyarakat luas.
Adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid yang melakukan itu. Nusron menyatakan bahwa tanah yang menganggur atau tidak memiliki aktivitas selama dua tahun akan diambil alih oleh negara.
Menurut Nusron, pada dasarnya seluruh tanah di Indonesia adalah milik negara, sedangkan masyarakat hanya diberikan status kepemilikan atas tanah sehingga bisa diambil alih negara jika tidak dipergunakan.
Mengapa semua tanah milik negara? Karena, kata Nusron, para leluhur kita, kakek kita, tidak bisa membuat tanah, memiliki tanah. "Mbahmu, embah-embah kita tidak bisa membuat tanah. Jadi, semua tanah memang milik negara," kata Nusron dengan intonasi dan gestur serius, tidak tampak dia sedang bercanda.
Begitu urusan 'tanah embahmu' itu viral karena dianggap menyinggung rakyat, Nusron meminta maaf sembari menyebut pernyataannya itu hanya bercanda. Akan tetapi, tentu publik menyebut candaan tersebut tidak lucu.
Candaan Nusron yang tidak lucu, sekali lagi membuat publik meragukan kapasitas menteri. Apalagi, candaan Nusron dilontarkan di tengah jutaan rakyat yang masih bermasalah dengan urusan tanah mereka. Ada ratusan warga pemilik kebun sawit di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Pelalawan, Riau, yang tengah resah lantaran kebun sawit mereka disita negara dan diserahkan kepada BUMN. Ada juga 3,5 juta lahan sawit lainnya yang siap disita negara.
Candaan Nusron itu, jika memang benar ia sedang bercanda, dilontarkan di tempat dan momen yang sangat tidak tepat. Apalagi, publik kini kerap menghadapi hal-hal mengejutkan yang membuat mereka prihatin.
Pernyataan Nusron menunjukkan tidak adanya empati terhadap masyarakat. Nusron bisa berdalih bahwa itu hanyalah salah ucap atau sabqul lisan (keceplosan). Namun, di situlah intinya. Sabqul lisan itu lantaran memang tidak ada empati terhadap apa yang dirasakan masyarakat.
Nusron bukan satu-satunya menteri yang gemar membikin gaduh dan membuat repot Presiden Prabowo. Padahal, sebagai pembantu presiden, menteri mestinya justru meringankan tugas presiden, bukan sebaliknya. Menteri adalah pembantu presiden. Mereka harus meringankan tugas-tugas presiden sesuai bidang masing-masing. Sudah seharusnya mereka membuat kebijakan dan pernyataan yang menenangkan rakyat banyak sesuai permintaan Presiden Prabowo.
Para menteri dan pejabat juga harus menjaga perilaku mereka dan mampu menjaga lisan saat berkomunikasi dengan rakyat. Demonstrasi besar-besaran menuntut pengunduran diri Bupati Pati, Sudewo, juga bisa menjadi contoh pejabat yang tidak mampu menjaga lisan.
Banyaknya blunder yang dilakukan para pejabat sudah semestinya dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi, sudah layakkah mereka menyandang status setinggi itu? Jika dibiarkan, tidak dievaluasi, blunder-blunder para pembantu presiden itu bisa menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan merusak wibawa Presiden.
Maka, lekaslah ambil tindakan. Jangan biarkan blunder pernyataan itu terus menumpuk hingga menutupi aksi penting yang sudah ditorehkan. Untuk mereka, para pejabat yang gemar membuat blunder lewat pernyataan, mulailah berhati-hati sebelum berkata-kata. Ingat, mulutmu harimaumu!