Bedah Editorial MI - Genjot APBN untuk Kejar Pertumbuhan

6 May 2025 08:30

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) soal perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, sejatinya tidak mengejutkan. Sejumlah pengamat dan lembaga kajian ekonomi sudah memprediksi hal itu sejak Maret lalu.   

BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2025 hanya 4,87% secara tahunan. Angka ini tidak hanya lebih kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2024 yang sebesar 5,11% (yoy), tapi juga cukup jauh dari target pemerintah sebesar 5,2%. 

Tentu saja perlambatan pertumbuhan ekonomi ini bukan kiamat. Ini juga bukan anomali karena tekanan ekonomi global yang beruntun sejak era covid-19 hingga panasnya geopolitik belakangan ini memang sangat berpengaruh. Apalagi, volatilitas ekonomi makin menggila dengan kebijakan tarif impor besutan Presiden AS Donald Trump yang memicu terjadinya perang dagang.

Maka, seberapa pun melesetnya target pemerintah, ‘menggarami’ luka ekonomi dengan kepanikan tidaklah berguna. Akan tetapi, tidak bijak juga bila pemerintah mencari pembenaran dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi domestik itu dengan perekonomian sejumlah negara yang lebih jeblok. Itu hanya akan mengaburkan pandangan, bahkan meninabobokkan dari ancaman resesi global pada akhir tahun ini.
 
Pemerintah sesungguhnya lebih pantas berkaca pada negara-negara yang masih mampu melaju di tengah badai ini. India yang disebut memiliki banyak kemiripan ekonomi dengan Indonesia, masih mampu tumbuh 6,2%. Bahkan di Asia Tenggara pun, ekonomi Vietnam tumbuh 6,8%, sekaligus tertinggi di regional ini.

Jadi, meski badai sama menghantam, mesin tiap-tiap kapal lah yang menentukan. Untuk Indonesia, mesin pertumbuhan sebenarnya tidak berubah sejak dulu, yakni konsumsi terutama konsumsi rumah tangga. Tapi, konsumsi sangat tergantung pada daya beli masyarakat, besarnya kelas menengah, dan kekuatan produktivitas sektoral. 

Memasuki 2025, pukulan terhadap tiga hal itu, khususnya daya beli masyarakat, bertambah-tambah dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan pemerintah. Tahun ini, efisiensi anggaran ditetapkan sebesar Rp308 triliun. Dalam beberapa tahun ke depan, efisiensi ditargetkan mencapai Rp750 triliun dalam tiga tahap. 

Kini, dengan surutnya pertumbuhan ekonomi, tidak salah bila sejumlah kalangan meminta pemerintah agar menghitung ulang kelanjutan langkah efisiensi anggaran tersebut. Bukan hanya membuka sebagian lagi keran anggaran yang diefisiensi, melainkan juga pemerintah harus benar-benar mengevaluasi program-program  ambisius yang menyedot banyak anggaran.

Evaluasi tersebut menjadi penting karena salah satu jalan yang mesti ditempuh pemerintah ketika pertumbuhan melandai, apalagi di triwulan awal, ialah dengan menggenjot belanja APBN. Ia merupakan instrumen fiskal utama pemerintah yang berperan penting dalam menggerakkan perekonomian nasional. 

Tantangan besar untuk itu adalah memastikan bahwa anggaran publik tersebut digunakan untuk belanja yang benar-benar mendukung pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar pemborosan untuk program-program yang belum teruji efektivitasnya. 

Kita masih punya tiga triwulan lagi untuk bangkit, tetapi kalau tidak ada perubahan pendekatan dan strategi belanja APBN yang efektif, produktif, dan tepat sasaran, sangat mungkin kelesuan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal berlanjut hingga akhir tahun. Kita semua tidak ingin itu terjadi.   

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Nopita Dewi)