Masa depan demokrasi di negeri ini, kini berada di pundak para hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, merekalah yang kini akan memutuskan perkara gugatan judicial review Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang sidangnya kini masih berproses, apakah akan mempertahankan sistem proporsional terbuka atau kembali ke bentuk tertutup seperti tuntutan para penggugat
Perkara ini jelas merupakan ujian bagi ketangguhan lembaga itu sebagai penjaga pilar konstitusi, sekaligus penjaga tegaknya demokrasi. Alasannya, yang menjadi objek gugatan kali ini ialah Undang-Undang Pemilu. Seperti kita ketahui, pemilu merupakan salah satu tolok ukur terdepan dari kualitas demokrasi. Alasan lainnya, sistem pemilu proporsional terbuka, poin yang kini tengah digugat di MK, adalah sistem yang memuliakan daulat rakyat, subjek utama demokrasi.
Dengan sistem proporsional terbuka yang memuat tanda gambar parpol dan nama-nama calon anggota legislatif pada surat suara, rakyat dapat menelusuri rekam jejak calon wakilnya, tidak seperti membeli kucing dalam karung. MK dengan pertimbangan hukum melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pun telah memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka. Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya atas prinsip demokrasi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Bila konsisten dengan pendirian itu, para hakim MK semestinya menolak gugatan atas sistem tersebut. Mereka pun tentu mafhum bahwa DPR sebagai pembuat UU memiliki kewenangan legislasi membentuk UU Pemilu yang baru. Artinya, parlemen dapat menempuh langkah legislative review, yakni mengamendemen UU Pemilu hasil judicial review seandainya dikabulkan MK. Hal tersebut amat mungkin dilakukan mengingat mayoritas fraksi di DPR sebelumnya sudah menyatakan tegas menolak sistem pemilu kembali menjadi tertutup, kecuali Fraksi PDI Perjuangan
Jika DPR pada akhirnya menggunakan wewenang menempuh jalan tersebut, hal itu tentunya akan menjadi tamparan keras bagi MK. Jadi, kini tergantung para hakim yang menyidangkan perkara tersebut, mau menjaga muruah MK sebagai lembaga pengawal demokrasi atau menjadi pengkhianat demokrasi dan mencoreng citra institusi?