Tidak salah jika hilirisasi industri dikatakan harga mati. Hilirisasi menjadi pijakan agar ekonomi negara bisa naik kelas. Sebab, hilirisasi berarti membuat nilai tambah pada komoditas. Dengan begitu, Indonesia tidak akan terjebak pada perekonomian barang mentah yang harganya sangat dipengaruhi fluktuasi global. Dari situ pula, neraca perdagangan kita akan naik dan devisa bertambah.
Dampak lebih panjang, lapangan kerja juga naik, dan tidak hanya di kelas keterampilan rendah atau tanpa keahlian. Sebaliknya, tanpa hilirisasi, bukan saja kemandekan, melainkan kemunduran ekonomi menjadi ancaman. Belum lagi, kita juga harus menanggung dampak eksploitasi sumber daya alam yang bisa bergenerasi. Sebab itu, tekad pemerintah Indonesia untuk memperluas hilirisasi sangat berdasar.
Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa pemerintah akan mengembangkan hilirisasi ke sektor minyak dan gas, perikanan, perkebunan, kehutanan, hingga pangan, Selasa (24/1/2023). Penggunaan teknologi yang tepat harus menjadi perhatian pada semua sektor hilirisasi, baik kehutanan maupun pangan. Teknologi ialah nyawa hilirisasi.
Tidak hanya itu, hilirisasi untuk banyak sektor lainnya juga berarti pemerintah sudah harus selesai dengan pekerjaan rumah selama ini. Mulai terjaminnya pasokan listrik sampai akuisisi lahan. Bahkan, untuk sektor kehutanan, pekerjaan rumah juga menyangkut inventarisasi hutan dan sistem verifikasi legalitas dan kelestarian kayu. Tanpa itu, ambisi hilirisasi hanya akan menciptakan masalah baru, yang bahkan bisa menyebabkan gejolak dan penolakan besar warga. Lebih jauh lagi, berbagai permasalahan itu juga bisa merugikan target-target grand lainnya, termasuk target net zero emission pada 2060.
Sumber:
Media Indonesia