PEMECATAN Patrick Kluivert dari kursi pelatih tim nasional Indonesia sudah sejak lama diprediksi akan terjadi saat Indonesia gagal melaju ke Piala Dunia 2026. Maka, keputusan itu bukan sesuatu yang mengagetkan. Pemecatan pelatih karena gagal memenuhi ekspektasi pecinta sepak bola ialah hal lumrah. Ia bentuk pertanggungjawaban.
Lolos atau tidaknya Indonesia ke babak berikutnya memang menjadi tolok ukur yang sangat kasat mata. Federasi, penonton, pengamat, dan media semua punya ekspektasi. Maka, ketika hasilnya tidak sesuai, orang akan mencari sosok yang paling bertanggung jawab, dan itu jelas pelatih.
Namun, kegagalan ke panggung dunia yang diikuti pemecatan pelatih itu tak perlu membuat publik bola kehilangan arah. Apalagi, sampai membunuh mimpi besar yang selama ini belum bangsa ini capai, yakni tampil di Piala Dunia.
Lolos ke Piala Dunia FIFA memang bukan jalan yang mudah. Mimpi itu mesti diikhtiarkan secara berliku, mendaki, kadang-kadang naik turun. Pendek kata, tidak ada yang instan untuk menjejakkan kaki di Piala Dunia. Ia perlu proses panjang dengan tingkat kesabaran dan konsistensi sangat tinggi.
Berlaga di Piala Dunia bukan sulap. Tidak cukup dengan mengumpulkan pemain naturalisasi dan diaspora sebanyak-banyaknya serta menunjuk pelatih tenar, lalu berharap keajaiban terjadi.
Sepak bola tak sesederhana itu. Butuh proses panjang dan konsisten. Butuh fondasi yang kuat, sistem yang tertata, dan visi yang dijalankan secara sabar, bukan tergesa-gesa. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mestinya sadar akan hal ini.
Kita perlu berkaca ke Jepang. Negara 'Samurai Biru' itu tidak membangun tim nasional yang kompetitif dalam satu malam. Mereka berinvestasi di pembinaan usia muda sejak puluhan tahun lalu. Mereka membangun liga domestik yang sehat, juga membiasakan pemainnya dengan kompetisi yang ketat dan profesional.
Mereka mendidik pelatih, membangun infrastruktur, dan yang paling penting, sabar tanpa bermental instan. Dalam prosesnya, Jepang juga berkali-kali kalah dan terjungkal. Tapi, begitu jalan itu terbuka, tak ada yang bisa membendungnya.
Sejak pertama kali masuk putaran final Piala Dunia tahun 1998, Jepang tak pernah absen masuk Piala Dunia, sampai dengan Piala Dunia 2026 nanti. Negeri Mayahati Terbit itu sangat paham akan pentingnya proses. Mereka sabar menyemai tunas-tunas muda secara berkesinambungan lalu memanennya saat betul-betul sudah matang.
Di titik ini, penting untuk kita ingatkan PSSI agar lebih memusatkan perhatian pada pembinaan pemain sejak dini. Jalan pintas memang kerap memberi hasil cepat, tapi setelah itu cepat hilang pula.
Maka, sepak bola Indonesia harus dibangun dari akar yang kuat. Para pemain dan calon pemain mesti dibina, diberi panggung, dan dikembangkan secara sistematis. Itu akan membentuk mental yang lebih kuat, alih-alih membiasakan generasi sepak bola kita tumbuh dalam pola pikir instan. Harus ada keyakinan bahwa dengan pembinaan yang tepat, anak-anak Indonesia bisa bersaing di level dunia.
Keinginan Presiden Prabowo agar lahir para atlet-atlet hebat yang kompetitif di level dunia dari rahim pembinaan olahraga di negeri ini merupakan visi mulia yang mestinya jadi acuan bagi semua pemangku kepentingan. Antusiasme masyarakat, bakat-bakat muda, dan semangat nasionalisme yang kuat menjadi modal awal yang luar biasa untuk meraih mimpi menuju Piala Dunia.
Namun, semua itu tidak akan cukup kalau tidak dibarengi dengan sistem yang mendukung dan kontinuitas dalam pembinaan. Bangsa ini harus mulai melihat sepak bola sebagai proyek jangka panjang, bukan hanya soal menang hari ini atau besok. Karena mimpi tampil di Piala Dunia bukan sekadar impian romantis. Tempuh jalan panjang dengan komitmen tangguh sungguh-sungguh, dan tidak terus-menerus terjebak dalam pola pikir instan.