NEWSTICKER

Bedah Editorial MI: Halusinasi Toleransi

N/A • 12 September 2022 08:17

Kehidupan beragama dan berkeyakinan di Tanah Air kembali mengalami ujian. Entah sudah keberapa kali pembangunan rumah ibadah menghadapi gangguan. Jaminan negara kepada warganya untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan sesuai Pasal 29 UUD 1945 masih berhias indah di atas kertas. Kali ini sejumlah orang yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menolak pembangunan rumah ibadah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten. 

Celakanya lagi, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta ikut menandatangani penolakan tersebut saat massa menggeruduk Kantor Pemerintah Kota Cilegon Rabu (7/9/2022). Bukan kali ini saja Pemerintah Kota Cilegon menolak pembangunan rumah ibadah umat kristiani. 

Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pemerintah Kota Cilegon telah menolak empat kali pengajuan izin Gereja HKBP Maranatha sejak 2006 dan lima kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis Indonesia Cilegon sejak 1995. Wali Kota Cilegon Helldy Agustian mengaku meneken petisi hanya untuk memenuhi keinginan kelompok yang menolak pembangunan rumah ibadah. Sungguh alasan yang tak pantas disampaikan oleh pejabat negara yang seharusnya berdiri di atas semua golongan. 

Tindakan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon yang menandatangani penolakan pembangunan rumah ibadah adalah tindakan diskriminatif, melanggar hak asasi manusia, dan pengkhianatan terhadap konstitusi. Adapun yang menjadi dasar Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menolak pembangunan gereja ialah Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 Maret 1975. Surat yang diteken 47 tahun silam.

SK tersebut berisi tentang penutupan gereja atau tempat jemaah bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang (sekarang Cilegon). Regulasi usang dan diskriminatif yang seharusnya tidak lagi dipakai untuk menghalang-halangi pembangunan rumah ibadah. Terlebih populasi warga nonmuslim di Kota Baja itu terus bertambah dan membutuhkan tempat ibadah. Wali Kota Cilegon menegaskan pembangunan gereja tersebut belum sesuai peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. 

Sebagai pelayan masyarakat, tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan, sang wali kota seharusnya membantu persyaratan apa saja yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah ibadah. Bukan langsung main teken menolak pembangunan rumah ibadah. Dalam beberapa kasus pembangunan rumah ibadah, peraturan bersama kedua menteri tersebut acapkali menjadi sandungan. Jika terus menjadi masalah, sudah selayaknya regulasi tersebut ditinjau kembali. Dibuat lagi regulasi yang menjadi jalan tengah agar keberagaman sebagai satu bangsa tetap kokoh dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. 

Rumah ibadah adalah keniscayaan bagi pemeluk agama dan kepercayaan sehingga keniscayaan pula dalam memanifestasikan amanat konstitusi. Keberagaman sejak Indonesia merdeka 77 tahun silam adalah sebuah kekuatan. Semua elemen bangsa memiliki kontribusi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dengan darah, nyawa, dan air mata. Di atas regulasi dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan adalah semangat bertoleransi, saling menghargai dan menyayangi satu sama lain. 

Indonesia merdeka dan era mengisi pembangunan di segala bidang adalah buah dari kebersamaan sebagai satu bangsa. Kota Cilegon saatnya harus berbenah. Studi Setara Institute tentang Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 menempatkan kota industri ini di rapor merah. Studi ini menggunakan empat variabel dan delapan indikator terhadap 94 kota di Tanah Air. IKT ini memberikan status kinerja pemerintah kota dalam mengelola kerukunan, toleransi, wawasan kebangsaan, dan inklusi. Toleransi bukan basa-basi, apalagi halusinasi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Rezahra Nurjannah)

Tag